Tidak diragukan pada zaman salaf sudah ada pelaku bid’ah, sudah ada kebid’ahan, perbuatan dusta dan maksiat serta yang lainnya. Namun pada saat itu ada orang yang menghadapinya, membantahnya, mematahkan syubhat-syubhat mereka dan menjelaskan kebatilan perbuatan-perbuatan dan tipu daya ahlul bid’ah, sehingga bid’ah tidak meninggalkan bekas.
Umat (secara umum) tidak terancam bahaya ahlul bid’ah, karena yang haq itu banyak, pembawa panji al haq sangat kuat, sehingga ahlul bid’ah tidak mampu mempengaruhi mereka.
Di antara bid’ah yang muncul pada qurun mufaddhalah (masa-masa yang penuh keutamaan), kami hanya menyebutkan contoh-contoh saja:
Bid’ah Khawarij
Bid’ah khawarij ini muncul pada masa sahabat. Mereka diperangi oleh Ali rodhiallohu ‘anhu dan sahabat lain setelah Ali sampai akhir abad pertama.
Kebid’ahan khawarij ini termasuk kebid’ahan yang paling ringan (pada awalnya, namun setelah itu mereka termasuk pelaku bidah yang banyak menumpahkan darah kaum muslimin sampai saat ini, sehingga pantaslah bila dinamakan Rosululloh anjing neraka -pen). Yaitu mereka menganggap perbuatan memberi maaf termasuk perbuatan dosa dan menganggap dosa sebagai kekufuran. Mereka mengkafirkan orang akibat dari dosa, dan menganggap orang yang berdosa telah murtad dari islam. Mereka menghalalkan darah dan hartanya, menganggap mereka telah keluar dari lingkup kaum muslimin dan menetapkan hukum bahwa orang yang berdosa itu termasuk penghuni neraka. Inilah aqidah mereka.
Beberapa hadits datang membawa celaan kepada mereka, menjelaskan aqidah buruk mereka. Hadits-hadits ini telah diriwayatkan dan telah masyhur. Tatkala kondisinya seperti ini, tidak ada seorang sahabat pun yang mengikuti mereka (khawarij), tidak juga ulama umat. Mereka hanya diikuti oleh orang-orang awam dan sebagian orang yang suka menakwilkan nash, orang yang tidak memiliki ilmu mendalam yang diwarisi dari sahabat rodhiallohu ‘anhum.
Bid’ah Mengingkari Takdir
Kemudian di akhir-akhir masa sahabat, muncul bid’ah yang lain yaitu bid’ah pengingkaran terhadap takdir, maksudnya mengingkari ada takdir sebelum sebuah kejadian. Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Ya’mar :
كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ فَقُلْنَا لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ فَقُلْتُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ قَالَ فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Orang yang pertama kali berbicara (maksudnya menolak) tentang takdir di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani. Lalu aku dan Humaid bin Abdurrahman berangkat menunaikan ibadah haji (atau umrah). Kami berkata: “Seandainya kami berjumpa dengan salah seorang sahabat, maka kami akan bertanya tentang apa yang dikatakan oleh orang-orang ini tentang takdir. Lalu kami diberi kemudahan menjumpai Abdullah bin Umar bin Al Khattab dalam keadaan masuk masjid, maka kami mendekatinya, salah seorang kami dari sebelah kanan dan yang lain dari sebelah kiri. Aku mengira bahwa temanku mewakilkan pertanyaan ini kepadaku, maka aku katakan: “Wahai abu Abdurrahman, sesungguhnya telah muncul sekelompok orang di tengah-tengah kami, mereka membaca Al Quran, menuntut ilmu (mereka menuntut dan meneliti ilmu. Dalam riwayat lain yatafaqqarun, dengan mendahulukan huruf fa’). Mereka mengatakan bahwa tidak ada takdir dan semua kejadian itu adalah baru (baru, tidak diawali dengan qada’ dan takdir. Lihat An Nihayah karya Ibnul Atsir ).
Abdullah bin Umar mengatakan, “Jika engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Zat yang dipergunakan untuk bersumpah oleh Abdullah bin Umar, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia menginfakkannya, maka Alloh tidak akan menerimanya sampai dia beriman dengan takdir, baik dan buruk… (al hadits) (diriwayatkan oleh Imam Muslim no.7, Abu Daud no. 4695 dan Tirmidzi no. 2610)
Kelompok ini mengingkari ilmu Alloh yang mendahului segala sesuatu. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Alloh tidak mengetahui sesuatu sampai sesuatu itu terjadi.”
Mereka mengingkari Alloh telah menuliskan takdir segala sesuatu di Lauh al Mahfuzh. Mereka mengingkari bahwa Alloh telah menetapkan takdir apa yang akan diperbuat seorang hamba dan Alloh tahu orang yang akan bahagia dan yang akan sengsara. Mereka mengingkari nash-nash yang gamblang dalam masalah ini.
Akan tetapi para salaf telah membantah mereka dan kesalahan-kesalahan mereka telah dijelaskan. Para salaf telah menerangkan bahwa ini adalah perkataan batil, karena menganggap ilmu Alloh itu kurang.
Oleh karena itu Imam Syafi’i rohimahulloh mengatakan: “Debatlah mereka dengan ilmu Alloh, jika mereka mengakui Ilmu Alloh, berarti mereka terkalahkan. Jika mereka mengingkari Ilmu Alloh berarti mereka telah kufur”. Maksudnya, tanyailah mereka, apakah kalian mengakui bahwa Alloh Maha Tahu (mengilmui) terhadap segala suatu? apakah kalian mengakui bahwa Alloh mengetahui apa telah terjadi, yang tidak terjadi dan yang belum terjadi, jika sudah terjadi, Alloh Maha Tahu bagaimana kejadiannya. Jika mereka mengakui bahwa Alloh ‘Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu, berarti argumen mereka telah terkalahkan, tidak ada lagi yang bisa mereka jadikan pegangan. Jika mereka mengingkarinya dan mengatakan: “Kami tidak mengakui bahwa Alloh ‘Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu”. Berarti mereka telah kufur. Karena mereka telah menganggap Alloh memiliki kekurangan, dan mensifatiNya dengan sifat jahil. Orang yang menolak sifat Ilmu berarti dia menetapkan sifat jahil bagi Alloh.
Bid’ah ini telah muncul, namun ada sahabat yang melawannya dan membantahnya, sehingga bid’ah ini tidak mapan pada masa itu. Karena kekuatan yang dimiliki pembawa kebenaran dan kwantitas mereka besar dan juga karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Sehingga terputuslah syubhat dan agama Alloh menang walaupun Ahlul Bid’ah membencinya.
Bid’ah Jahmiyah
Bid’ah Jahmiyah muncul di awal abad kedua. Mereka mengingkari bahwa Alloh bisa berbicara, mereka mengingkari bahwa Al Quran itu kalamulloh. Mereka menolak bahwa Alloh menyukai hamba-Nya yang disukai dan menolak bahwa Alloh telah berbicara dengan Musa atau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.
Ketika mereka menampakkan pendapat mereka ini, tokoh pelopornya yaitu Ja’ad bin Dirham telah dibunuh pada masa salaf. Dia dibunuh Gubernur (Amir) Iraq Khalid bin Abdullah Al Qusari pada saat hari raya idul Adha dan menganggapnya sebagai binatang qurban. Dia mengatakan, “Wahai sekalian manusia, berkorbanlah kalian. Semoga Alloh menerima ibadah qurban kalian. Sesungguhnya aku berqurban dengan (menyembelih) Ja’ad bin Dirham, karena dia menganggap Alloh tidak pernah berbicara dengan Musa dan tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Maha Tinggi Alloh dari ucapan Ja’ad”. Dia lalu turun dan menyembelihnya. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitabnya “Khalqu ‘Af’aalil ‘Ibad”. (lihat Khalqu ‘Af’aalil ‘Ibad hal. 7 dan lihat Siyar A’lamin Nubala’ 5/423)
Para salaf memiliki ilmu dan iman sehingga mereka mengingkari perbuatan bid’ah Ja’ad dan mencela al Jahmiyah pengikutnya. Beginilah kondisinya saat itu, tidak ada bid’ah pada masa salaf yang memiliki kekuatan. Namun sangat disayangkan, bid’ah-bid’ah ini yaitu bid’ah mu’tazilah, jahmiyah dan bid’ah qadariyah akhirnya menyebar setelah tiga generasi ini lewat, terutama bid’ah jahmiyah yang mengingkari sifat-sifat Alloh. Bid’ah ini menguat sehingga pada abad keempat dan seterusnya, pendapat salaf dalam masalah aqidah hampir tidak bisa diketahui. Bahkan kemudian mereka melecehkan para ulama salaf, dan menjuluki para salaf itu orang-orang bodoh. Mereka mengumpamakan mereka seperti orang yang tidak bisa baca tulis, yang tidak mengerti Al Quran kecuali dongengan bohong belaka, sebagaimana Alloh menggunakan kata-kata ini untuk menceritakan ahlul kitab. Alloh ‘azza wa jalla berfirman :
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لاَ يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka. (QS Al Baqoroh: 78)”. Maksudnya hanya sekedar bisa membaca tanpa mengerti maknanya sedikit pun.
Sedangkan generasi khalaf yaitu generasi empat, lima dan enam dan seterusnya, menuduh bahwa salaf itu hanya beriman dengan lafazh-lafazh semata, tanpa mengerti maknanya. Mereka (para salaf tersebut hanya) mengimani lafazhnya dan menyerahkan maknanya (kepada Alloh). Tidak diragukan lagi, hal ini merupakan bentuk pelecehan terhadap salaf, hingga mereka mengira bahwa ilmu salaf tidak lebih dari sekedar tafwidh (penyerahan makna kepada Alloh). Orang-orang ini berdalil dengan perkataan para ulama salaf tentang hadits-hadits yang menunjukkan sifat Alloh, “Biarkanlah (makna) sifat itu sebagaimana aslinya, tanpa takyiif (mengumpamakan atau menerangkan hakikatnya)”.
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk pelecehan dan celaan kepada para salaf. Karena banyak hal yang dinukil dari salaf yang menunjukkan keimanan mereka kepada Alloh, kepada sifat-sifatNya, kepada semua yang datang dari-Nya; juga menunjukkan penerimaan mereka terhadap syariat, keimanan mereka terhadap nash-nash serta meyakini kandungan-kandungannya; mereka menyifati Alloh dengan sifat-sifat kesempurnaan dan membiarkan makna ayat-ayat sifat sebagaimana aslinya. Mereka hanya melarang perbuatan takyiif (mengumpakan/menyamakan), melarang membebani diri dengan menanyakan hakikat sifat Alloh atau yang sejenisnya.
Inilah maksud dari perkatan mereka, tentang ayat-ayat sifat, “Biarkanlah ayat-ayat itu sebagaimana dia datang tanpa mengumpamakan (takyiif)” Maksudnya, janganlah kalian bertanya tentang hakikat sifat. Dan sebagaimana ucapan Imam Malik bin Anas (beliau rohimahulloh salah seorang ulama tabi’ tabien) ketika beliau rohimahulloh ditanya tentang istiwa’, “Istiwa’ itu sudah maklum, hakikatnya tidak akan bisa diketahui akal, mengimaninya wajib, bertanya tentang hal itu adalah sebuah kebid’ahan”.
Perkataan ini juga diriwayatkan dari guru beliau rohimahulloh yaitu Rabi’ah bin Abu Abdurrahman. Beliau ini termasuk pembesar tabi’in dari Madinah. Dia ditanya tentang istiwa’. Maka dia menjawab, “Istiwa’ sudah maklum, hakikatnya tidak bisa diketahui, dari Alloh risalah ini datang, kewajiban rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah mengimaninya”.
Ucapan mereka menunjukkan bahwa para salaf itu memahami makna-makna ayat, mengerti maksud nash-nash, mengimaninya, hanya saja mereka tidak mengetahui hakikatnya. Hakikat ini yang tidak bisa dicapai oleh ilmu makhluk.
Ini dan yang lainnya merupakan ilmu-ilmu para salaf. Ketika mereka telah mendapatkan ilmu warisan (para nabi) ini, maka berikutnya mereka mempraktekkannya dalam permasalahan aqidah (keyakinan) dan amalan praktis. Juga mereka membantah para pelaku bid’ah dan syubhat-syubhat yang mereka bawakan. Mereka mengingkari kebid’ahan-kebid’ahan yang terjadi pada masa mereka, sehingga bid’ah-bid’ah itu tidak bisa menguat kecuali pada masa-masa terakhir.
Para ulama umat ini seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh telah menjelaskan bahwa aqidah para salaf dan para pengikut mereka adalah aqidah yang pernah diyakini oleh para sahabat rodhiallohu ‘anhum dan disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka serta diambil dari dua wahyu yaitu Al Quran dan Sunnah. Inilah yang diwajibkan dan merupakan petunjuk yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,”. (QS At Taubah: 33)
Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di atas petunjuk. Dan orang yang meninggalkannya dan menentangnya, berada di atas kesesatan. Tidak disangsikan lagi bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan lurus yang Alloh perintahkan kepada kita untuk mengikutinya dalam firman-Nya :
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya…” (QS. Al An’am : 153)
Dalam hadits yang shohih, (dijelaskan) bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat ini. Beliau membuat sebuah garis lurus seraya bersabda, “Ini adalah jalan Alloh” Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam membuat beberapa garis di samping kiri dan kanan garis (pertama) seraya bersabda, “Ini adalah subul (dalam ayat diatas -pent). Di atas masing-masing garis (yang sebelah kanan dan kiri) ini ada syaitan yang mengajak kejalan itu” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/436, Ad Darimi 67-68, Al Hakim 2/239 dari hadits Abdullah bin Mas’ud rodhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah no. 11 dari hadits Jabir bin Abdullah rodhiallahu ‘anhu)
Maksudnya orang yang berjalan di atas jalan lurus ini, maka dia akan selamat. Dan orang yang menyimpang darinya, maka itu akan menyebabkan kebinasaannya. Jalan ini disebut mustaqim (lurus) karena tidak ada kebengkokan, tidak ada penyimpangan, dan rambu-rambunya jelas bisa diketahui oleh semua manusia.
–bersambung insya Alloh–
Sumber: Kumpulan Makalah Ustadz Kholid Syamhudi, jazaahullohu ahsanal jaza’
Kebid’ahan khawarij ini termasuk kebid’ahan yang paling ringan (pada awalnya, namun setelah itu mereka termasuk pelaku bidah yang banyak menumpahkan darah kaum muslimin sampai saat ini, sehingga pantaslah bila dinamakan Rosululloh anjing neraka -pen). Yaitu mereka menganggap perbuatan memberi maaf termasuk perbuatan dosa dan menganggap dosa sebagai kekufuran. Mereka mengkafirkan orang akibat dari dosa, dan menganggap orang yang berdosa telah murtad dari islam. Mereka menghalalkan darah dan hartanya, menganggap mereka telah keluar dari lingkup kaum muslimin dan menetapkan hukum bahwa orang yang berdosa itu termasuk penghuni neraka. Inilah aqidah mereka.
Beberapa hadits datang membawa celaan kepada mereka, menjelaskan aqidah buruk mereka. Hadits-hadits ini telah diriwayatkan dan telah masyhur. Tatkala kondisinya seperti ini, tidak ada seorang sahabat pun yang mengikuti mereka (khawarij), tidak juga ulama umat. Mereka hanya diikuti oleh orang-orang awam dan sebagian orang yang suka menakwilkan nash, orang yang tidak memiliki ilmu mendalam yang diwarisi dari sahabat rodhiallohu ‘anhum.
Bid’ah Mengingkari Takdir
Kemudian di akhir-akhir masa sahabat, muncul bid’ah yang lain yaitu bid’ah pengingkaran terhadap takdir, maksudnya mengingkari ada takdir sebelum sebuah kejadian. Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Ya’mar :
كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ فَقُلْنَا لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ فَقُلْتُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ قَالَ فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Orang yang pertama kali berbicara (maksudnya menolak) tentang takdir di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani. Lalu aku dan Humaid bin Abdurrahman berangkat menunaikan ibadah haji (atau umrah). Kami berkata: “Seandainya kami berjumpa dengan salah seorang sahabat, maka kami akan bertanya tentang apa yang dikatakan oleh orang-orang ini tentang takdir. Lalu kami diberi kemudahan menjumpai Abdullah bin Umar bin Al Khattab dalam keadaan masuk masjid, maka kami mendekatinya, salah seorang kami dari sebelah kanan dan yang lain dari sebelah kiri. Aku mengira bahwa temanku mewakilkan pertanyaan ini kepadaku, maka aku katakan: “Wahai abu Abdurrahman, sesungguhnya telah muncul sekelompok orang di tengah-tengah kami, mereka membaca Al Quran, menuntut ilmu (mereka menuntut dan meneliti ilmu. Dalam riwayat lain yatafaqqarun, dengan mendahulukan huruf fa’). Mereka mengatakan bahwa tidak ada takdir dan semua kejadian itu adalah baru (baru, tidak diawali dengan qada’ dan takdir. Lihat An Nihayah karya Ibnul Atsir ).
Abdullah bin Umar mengatakan, “Jika engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Zat yang dipergunakan untuk bersumpah oleh Abdullah bin Umar, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia menginfakkannya, maka Alloh tidak akan menerimanya sampai dia beriman dengan takdir, baik dan buruk… (al hadits) (diriwayatkan oleh Imam Muslim no.7, Abu Daud no. 4695 dan Tirmidzi no. 2610)
Kelompok ini mengingkari ilmu Alloh yang mendahului segala sesuatu. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Alloh tidak mengetahui sesuatu sampai sesuatu itu terjadi.”
Mereka mengingkari Alloh telah menuliskan takdir segala sesuatu di Lauh al Mahfuzh. Mereka mengingkari bahwa Alloh telah menetapkan takdir apa yang akan diperbuat seorang hamba dan Alloh tahu orang yang akan bahagia dan yang akan sengsara. Mereka mengingkari nash-nash yang gamblang dalam masalah ini.
Akan tetapi para salaf telah membantah mereka dan kesalahan-kesalahan mereka telah dijelaskan. Para salaf telah menerangkan bahwa ini adalah perkataan batil, karena menganggap ilmu Alloh itu kurang.
Oleh karena itu Imam Syafi’i rohimahulloh mengatakan: “Debatlah mereka dengan ilmu Alloh, jika mereka mengakui Ilmu Alloh, berarti mereka terkalahkan. Jika mereka mengingkari Ilmu Alloh berarti mereka telah kufur”. Maksudnya, tanyailah mereka, apakah kalian mengakui bahwa Alloh Maha Tahu (mengilmui) terhadap segala suatu? apakah kalian mengakui bahwa Alloh mengetahui apa telah terjadi, yang tidak terjadi dan yang belum terjadi, jika sudah terjadi, Alloh Maha Tahu bagaimana kejadiannya. Jika mereka mengakui bahwa Alloh ‘Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu, berarti argumen mereka telah terkalahkan, tidak ada lagi yang bisa mereka jadikan pegangan. Jika mereka mengingkarinya dan mengatakan: “Kami tidak mengakui bahwa Alloh ‘Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu”. Berarti mereka telah kufur. Karena mereka telah menganggap Alloh memiliki kekurangan, dan mensifatiNya dengan sifat jahil. Orang yang menolak sifat Ilmu berarti dia menetapkan sifat jahil bagi Alloh.
Bid’ah ini telah muncul, namun ada sahabat yang melawannya dan membantahnya, sehingga bid’ah ini tidak mapan pada masa itu. Karena kekuatan yang dimiliki pembawa kebenaran dan kwantitas mereka besar dan juga karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Sehingga terputuslah syubhat dan agama Alloh menang walaupun Ahlul Bid’ah membencinya.
Bid’ah Jahmiyah
Bid’ah Jahmiyah muncul di awal abad kedua. Mereka mengingkari bahwa Alloh bisa berbicara, mereka mengingkari bahwa Al Quran itu kalamulloh. Mereka menolak bahwa Alloh menyukai hamba-Nya yang disukai dan menolak bahwa Alloh telah berbicara dengan Musa atau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.
Ketika mereka menampakkan pendapat mereka ini, tokoh pelopornya yaitu Ja’ad bin Dirham telah dibunuh pada masa salaf. Dia dibunuh Gubernur (Amir) Iraq Khalid bin Abdullah Al Qusari pada saat hari raya idul Adha dan menganggapnya sebagai binatang qurban. Dia mengatakan, “Wahai sekalian manusia, berkorbanlah kalian. Semoga Alloh menerima ibadah qurban kalian. Sesungguhnya aku berqurban dengan (menyembelih) Ja’ad bin Dirham, karena dia menganggap Alloh tidak pernah berbicara dengan Musa dan tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Maha Tinggi Alloh dari ucapan Ja’ad”. Dia lalu turun dan menyembelihnya. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitabnya “Khalqu ‘Af’aalil ‘Ibad”. (lihat Khalqu ‘Af’aalil ‘Ibad hal. 7 dan lihat Siyar A’lamin Nubala’ 5/423)
Para salaf memiliki ilmu dan iman sehingga mereka mengingkari perbuatan bid’ah Ja’ad dan mencela al Jahmiyah pengikutnya. Beginilah kondisinya saat itu, tidak ada bid’ah pada masa salaf yang memiliki kekuatan. Namun sangat disayangkan, bid’ah-bid’ah ini yaitu bid’ah mu’tazilah, jahmiyah dan bid’ah qadariyah akhirnya menyebar setelah tiga generasi ini lewat, terutama bid’ah jahmiyah yang mengingkari sifat-sifat Alloh. Bid’ah ini menguat sehingga pada abad keempat dan seterusnya, pendapat salaf dalam masalah aqidah hampir tidak bisa diketahui. Bahkan kemudian mereka melecehkan para ulama salaf, dan menjuluki para salaf itu orang-orang bodoh. Mereka mengumpamakan mereka seperti orang yang tidak bisa baca tulis, yang tidak mengerti Al Quran kecuali dongengan bohong belaka, sebagaimana Alloh menggunakan kata-kata ini untuk menceritakan ahlul kitab. Alloh ‘azza wa jalla berfirman :
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لاَ يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka. (QS Al Baqoroh: 78)”. Maksudnya hanya sekedar bisa membaca tanpa mengerti maknanya sedikit pun.
Sedangkan generasi khalaf yaitu generasi empat, lima dan enam dan seterusnya, menuduh bahwa salaf itu hanya beriman dengan lafazh-lafazh semata, tanpa mengerti maknanya. Mereka (para salaf tersebut hanya) mengimani lafazhnya dan menyerahkan maknanya (kepada Alloh). Tidak diragukan lagi, hal ini merupakan bentuk pelecehan terhadap salaf, hingga mereka mengira bahwa ilmu salaf tidak lebih dari sekedar tafwidh (penyerahan makna kepada Alloh). Orang-orang ini berdalil dengan perkataan para ulama salaf tentang hadits-hadits yang menunjukkan sifat Alloh, “Biarkanlah (makna) sifat itu sebagaimana aslinya, tanpa takyiif (mengumpamakan atau menerangkan hakikatnya)”.
Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk pelecehan dan celaan kepada para salaf. Karena banyak hal yang dinukil dari salaf yang menunjukkan keimanan mereka kepada Alloh, kepada sifat-sifatNya, kepada semua yang datang dari-Nya; juga menunjukkan penerimaan mereka terhadap syariat, keimanan mereka terhadap nash-nash serta meyakini kandungan-kandungannya; mereka menyifati Alloh dengan sifat-sifat kesempurnaan dan membiarkan makna ayat-ayat sifat sebagaimana aslinya. Mereka hanya melarang perbuatan takyiif (mengumpakan/menyamakan), melarang membebani diri dengan menanyakan hakikat sifat Alloh atau yang sejenisnya.
Inilah maksud dari perkatan mereka, tentang ayat-ayat sifat, “Biarkanlah ayat-ayat itu sebagaimana dia datang tanpa mengumpamakan (takyiif)” Maksudnya, janganlah kalian bertanya tentang hakikat sifat. Dan sebagaimana ucapan Imam Malik bin Anas (beliau rohimahulloh salah seorang ulama tabi’ tabien) ketika beliau rohimahulloh ditanya tentang istiwa’, “Istiwa’ itu sudah maklum, hakikatnya tidak akan bisa diketahui akal, mengimaninya wajib, bertanya tentang hal itu adalah sebuah kebid’ahan”.
Perkataan ini juga diriwayatkan dari guru beliau rohimahulloh yaitu Rabi’ah bin Abu Abdurrahman. Beliau ini termasuk pembesar tabi’in dari Madinah. Dia ditanya tentang istiwa’. Maka dia menjawab, “Istiwa’ sudah maklum, hakikatnya tidak bisa diketahui, dari Alloh risalah ini datang, kewajiban rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah mengimaninya”.
Ucapan mereka menunjukkan bahwa para salaf itu memahami makna-makna ayat, mengerti maksud nash-nash, mengimaninya, hanya saja mereka tidak mengetahui hakikatnya. Hakikat ini yang tidak bisa dicapai oleh ilmu makhluk.
Ini dan yang lainnya merupakan ilmu-ilmu para salaf. Ketika mereka telah mendapatkan ilmu warisan (para nabi) ini, maka berikutnya mereka mempraktekkannya dalam permasalahan aqidah (keyakinan) dan amalan praktis. Juga mereka membantah para pelaku bid’ah dan syubhat-syubhat yang mereka bawakan. Mereka mengingkari kebid’ahan-kebid’ahan yang terjadi pada masa mereka, sehingga bid’ah-bid’ah itu tidak bisa menguat kecuali pada masa-masa terakhir.
Para ulama umat ini seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh telah menjelaskan bahwa aqidah para salaf dan para pengikut mereka adalah aqidah yang pernah diyakini oleh para sahabat rodhiallohu ‘anhum dan disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka serta diambil dari dua wahyu yaitu Al Quran dan Sunnah. Inilah yang diwajibkan dan merupakan petunjuk yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,”. (QS At Taubah: 33)
Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di atas petunjuk. Dan orang yang meninggalkannya dan menentangnya, berada di atas kesesatan. Tidak disangsikan lagi bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan lurus yang Alloh perintahkan kepada kita untuk mengikutinya dalam firman-Nya :
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya…” (QS. Al An’am : 153)
Dalam hadits yang shohih, (dijelaskan) bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat ini. Beliau membuat sebuah garis lurus seraya bersabda, “Ini adalah jalan Alloh” Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam membuat beberapa garis di samping kiri dan kanan garis (pertama) seraya bersabda, “Ini adalah subul (dalam ayat diatas -pent). Di atas masing-masing garis (yang sebelah kanan dan kiri) ini ada syaitan yang mengajak kejalan itu” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/436, Ad Darimi 67-68, Al Hakim 2/239 dari hadits Abdullah bin Mas’ud rodhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah no. 11 dari hadits Jabir bin Abdullah rodhiallahu ‘anhu)
Maksudnya orang yang berjalan di atas jalan lurus ini, maka dia akan selamat. Dan orang yang menyimpang darinya, maka itu akan menyebabkan kebinasaannya. Jalan ini disebut mustaqim (lurus) karena tidak ada kebengkokan, tidak ada penyimpangan, dan rambu-rambunya jelas bisa diketahui oleh semua manusia.
–bersambung insya Alloh–
Sumber: Kumpulan Makalah Ustadz Kholid Syamhudi, jazaahullohu ahsanal jaza’
mantap hadistnya sob,keep blogging ya
BalasHapusHadits ini diambil dari para Ulama terdahulu...terima kasih sudah berkunjung dan koment
BalasHapusAlhamdulillah, syukron atas pencerahannya
BalasHapus