Ilmu para salaf mencakup, hafalan terhadap sunnah Nabawiyah yang mereka riwayatkan dari nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. mereka juga menghafal Kalamulloh (Al Quran). Mereka antusias untuk memelihara ilmu ini dari tangan-tangan jahil. Karenanya, setelah wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, pertama kali mereka berkonsentrasi untuk membukukan Al Quran. Mereka menulisnya dalam beberapa lembaran, lalu mereka jadikan satu, sehingga tidak ada yang terlupakan ataupun tertinggal.
Di antara cakupan ilmu mereka juga adalah sibuk untuk menjelaskan Al Quran dan menerangkan makna-makna yang terkadang samar bagi generasi setelah mereka. Ini dikarenakan, mereka menyaksikan saat-saat turunnya Al Quran dan juga dikarenakan Al Quran turun dengan menggunakan bahasa mereka. Dan juga karena mereka lebih tahu tentang sebab-sebab turun sebuah ayat dan maksudnya. Oleh karena tafsir (penjelasan) para sahabat dan murid-muridnya lebih didahulukan daripada orang-orang zaman terakhir, yang menerapkannya dalam fakta-fakta dan kondisi-kondisi (yang ada) atau yang lainnya.
Oleh karena itu, para ulama umat ini yang sibuk dengan ilmu tafsir berdalil dengan hadits-hadits serta atsar-atsar yang berhubungan dengan Al Quran, karena memang dia adalah penjelas bagi Al Quran. Kita sudah tahu bahwa Alloh menurunkan syariat dan risalah ini kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Alloh memerintahkannya untuk menyampaikan risalah ini, dengan firman-Nya:
إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ
“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)” (QS As Syura: 48) dan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ
“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (QS Al Maidah: 67)
Kita beriman tanpa ragu bahwa Rasulullah telah menyampaikan risalah itu, bahkan Rasulullah tidak sebatas menyampaikan risalah kepada mereka akan tetapi beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya dengan amal dan perkataan. Rasulullah menjelaskan sesuatu yang samar bagi mereka, menerangkan sesuatu yang perlu diterangkan, sebagai realisasi dari firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS An Nahl: 44)
Penjelasan beliau terhadap Al Quran adalah penjelasan beliau dengan praktek dalam sholat, haji, masalah-masalah lain yang masih global, seperti hudud dan sanksi. Begitu juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan ayat-ayat, menerangkan makna-maknanya sebagaimana telah dipersaksikan oleh para ahli tafsir. Dan tidak diragukan juga bahwa para sahabat (yang telah mendapatkan penjelasan langsung dari Rasulullah -pent) ini telah menyampaikan seluruhnya kepada murid-muridnya, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk itu. Terdapat dalam hadits yang sah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِيُبَلِّغَ الشَّاهِدُ الغَائِبَ
“Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 68 dari Abu Bakar rodhiallohu ‘anhu dan Imam Muslim no. 1354 dari Abu Syuraih rodhiallohu ‘anhu)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang sah:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا وَ أَدَّهَا كَمَا سَمِعَهَا فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرُ فَقِيْهٍ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
“Semoga Alloh membaguskan wajah orang yang mendengarkan sabdaku, lalu menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana dia mendengarnya. Bisa jadi orang yang diberitahu lebih paham daripada orang yang mendengar (dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam), terkadang orang yang membawa fikih bukanlah orang yang faqih dan bisa jadi pembawa fikih membawanya kepada orang yang lebih bisa memahaminya” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad 5/187, Imam Abu Daud no. 3660, Imam Tirmidzi no. 2656 dan Ibnu Majah no. 230 dari hadits Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu)
Ketika para sahabat mendengar sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam ini, mereka tahu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam akan wafat dan mereka akan mengemban risalah ini setelahnya, mengemban nash-nashnya, makna-maknanya dan kaifiyah (tata cara)nya. Maka mereka tidak tinggal diam, mereka menyampaikan dan memberitahukan kepada orang-orang tertentu dan orang umum, apa yang mereka tahu dan apa yang mereka hafal serta dapatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah, amal mereka nampak sebagai realisasi dari ilmu. Karena ilmu yang benar, pasti akan diiringi amal perbuatan, karena amal merupakan buah ilmu.
Dan tidak diragukan bahwa ilmu-ilmu para salaf yang mereka dapatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka dapatkan dari para guru mereka dan tokoh-tokoh sahabat adalah ilmu-ilmu yang benar. Semuanya berkait dengan syariat, berkait dengan perintah dan larangan Alloh subhanahu wa ta’ala. Mereka mempelajari ilmu yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Alloh subhanahu wa ta’ala yaitu masalah-masalah ibadah. Mereka mempelajari amalan-amalan yang harus dikerjakan dalam kehidupan ini serta hal-hal haram yang harus ditinggalkan. Mereka mempelajari semua masalah ini dan menyampaikannya.
Tidak diragukan, bahwa orang yang mengikuti mereka dalam masalah ini –generasi setelahnya meskipun beberapa abad– akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama mereka. Karena mengikuti mereka, mewarisi ilmu-ilmu dan antusiasme mereka bahkan membukukan kejadian-kejadian itu merupakan pengutamaan mereka dan bukti cinta mereka kepada para salaf dan bukti penghargaan terhadap salaf dengan penghargaan yang layak. Orang seperti ini tidak disangsikan lagi, dia akan mengikuti salaf dengan iman dan amal; mereka melakukan amalan-amalan yang dilakukan para salaf. Kemudian di hari kiamat, dikumpulkan bersama para salaf. Orang yang cinta kepada suatu kaum, maka dia akan dikumpulkan bersama dengan orang yang dia cinta, sebagaimana diterangkan dalam hadits. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 6169 dan Imam Muslim 2640 dari Abdullah bin Mas’ud, dan lafazh hadits ini adalah riwayat Imam Muslim, Abdullah rodhiallohu ‘anhu mengatakan: “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang cinta kepada satu kaum padahal dia belum pernah menjumpai mereka?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang itu bersama dengan yang dia cinta.”)
Maka kami katakan, dalam keadaan membahas tentang ilmu salaf, “Sesungguhnya wajib atas kita untuk mempelajari ilmu yang benar yang diwariskan oleh para salaf dari Nabi mereka shalallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib atas kita untuk memprioritaskannya di atas ilmu-ilmu lain yang menyainginnya”. Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh salaf ada beberapa macam:
Pertama, ilmu yang mereka ucapkan dengan lisan dan mereka yakini dengan hati. Ini adalah masalah aqidah.
Kedua, mereka mempelajari dari Rasulullah ilmu yang bisa mendekatkan diri kepada Alloh. Ini adalah urusan ibadah.
Ketiga, mereka mempelajari dari nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang wajib mereka lakukan dalam kehidupan dan mempelajari perkara haram yang wajib mereka tinggalkan dan lain sebagainya.
Tidak diragukan lagi, bahwa siapa saja yang mengikuti mereka –meskipun dia ada beberapa dekade setelah mereka– maka dia akan dikumpulkan bersama mereka, karena dengan mengikuti mereka, berarti mengutamakan mereka, mencintai mereka dan menghargai mereka sebagaimana mestinya. Dan siapa saja yang mencintai suatu kaum maka dia akan dikumpulkan bersama mereka.
Kalau kita tidak menyibukkan dengan ilmu-ilmu ini berarti kita kehilangan banyak ilmu dan hilang kesempatan mendekatkan diri kepada Alloh dengan amal-amal shalih. Sebaliknya, jika menyibukkan diri dengannya dan arahkan langkah kita ke sana, maka kita akan sampai kepada Alloh dalam keadaan berada di atas jalan yang lurus, kita menempuh jalan lurus, tidak ada penyimpangan dan kebengkokan.
Sedangkan jika mengikuti orang setelah generasi salaf dan kita menempuh jalan-jalan menyimpang dalam amalan-amalan kita, maka kita akan masuk ke dalam jurang kebinasaan, minimalnya kita (terjerumus) mengadakan perbuatan bid’ah yang tidak pernah diperintahkan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala.
Ilmu para salaf terbentuk dari ilmu nash-nash dan mencakup menghafal ayat dan hadits-hadits, memahaminya dan menjelaskannya, menjelaskan makna dan kandungannya, mengamalkan. Demikian juga mencakup masalah menampakkannya dan mengajarkannya. Jadi sumber ilmu-ilmu mereka adalah: hafalan, pemahaman, praktek, dan menjelaskan.
Klasifikasi Ilmu Salaf
Ilmu para salaf dapat dikategorikan menjadi beberapa:
Pertama, ilmu tentang ayat-ayat Al Quran, maknanya dan yang terkait dengannya. Ini disebut tafsir.
Kedua, ilmu hadits, cabang dan pengklasifikasiannya serta pembagiannya dalam beberapa macam dan lain sebagainya. Termasuk juga yang terkait dengannya adalah mengetahui hadits shahih dari yang lemah, yang dapat diterima dan yang tertolak dan mengetahui para perawi dan riwayat yang berhubungan dengan mereka. Ini disebut ilmu sunnah.
Ketiga, ilmu memahami dan mengambil faedah dari nash. Ini disebut ilmu fikih.
Keempat, ilmu i’tiqad (keyakinan). Mereka membaginya menjadi ilmu ushul dan furu’ (cabang). Yang ushul yaitu ilmu yang berkait dengan aqidah. Ilmu ini mereka jelaskan dan terangkan dari satu sisi tertentu. Sedangkan yang berkait dengan furu’ (cabang) mereka jelaskan dari segi yang lainnya.
Ketika mereka menyadari bahwa ada beberapa masalah yang menyebabkan seseorang bisa menjadi kafir, mereka menyendirikannya dalam tulisan. Mereka menulis banyak kitab yang berkait dengan aqidah, ilmu sunnah. Karena melihat dan menyaksikan beberapa ahlul bid’ah yang dikhawatirkan akan melakukan pengrusakan di muka bumi, maka membantah kebid’ahan-kebid’ahan mereka. Mereka menulis sesuatu yang membantah syubhat-syubhat yang mereka lontarkan kepada orang lemah imannya.
Alloh menjagakan kitab-kitab yang ditulis oleh para salaf tersebut buat kita. Misalnya bisa didapatkan kitab-kitab yang berisi aqidah yang ditulis pada abad kedua, kebanyakannya ditulis pada abad ketiga. Kitab-kitab ini ada dan mudah didapatkan. Jika seorang alim mengumpulkannya, membacanya dan mengikat diri dengannya, maka dia akan tahu bahwa para salaf berada di atas aqidah yang kokok dan ilmu yang dalam. Nara sumber ilmu mereka adalah dua wahyu yaitu Al Quran dan sunnah yang jadikan sebagai referensi.
Sedangkan masalah far’iyah (cabang) yang ditulis oleh para salaf dan diwariskan turun temurun, juga banyak. Hal ini karena mereka ingin menjaga sunnah nabi mereka dan ilmu diwarisi dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka menulis kitab-kitab mereka dalam masalah furu’. Mereka isi dengan hadits-hadits yang sah dari nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka riwayatkan dengan membawakan sanadnya sampai ke nara sumbernya (yaitu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam). Kitab-kitab mereka juga berisi atsar-atsar dari sahabat, tabi’in yang menjelaskan perkataan dan pendapat mereka.
Ini semua demi menjaga ilmu itu sehingga tidak terlupakan. Karena Alloh subhanahu wa ta’ala telah menjamin keterpeliharaan syariat ini, maka Alloh menakdirkan ulama-ulama salaf untuk syariat ini yang akan menjaganya:
Dengan sanad dalam dada mereka.
Dengan menuliskan sanad dan mengetahui orang-orangnya agar bisa mengetahui hadits yang shahih dari yang lemah.
Dengan menulisnya. Karena mereka khawatir, ada ilmu sedikit yang hilang akibat lupa atau lainnya, akibat wafatnya orang yang menghafalnya di dada mereka. Karenanya mereka segera membukukannya sehingga syariat ini tetap terjaga tidak ada yang hilang.
Yang termasuk imam abad kedua dalam masalah ini yaitu Imam Malik dan Abu Hanifah yang banyak menulis pada abad kedua tentang permasalahan yang berkait dengan furu’. Begitu juga dua teman Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan. Termasuk orang-orang yang ada pada zaman itu adalah Ibnu Juraij, Abdurrazaq bin Hammam, Ma’mar bin Rasyid dan ulama lain pada masa itu.
Kemudian setelah mereka adalah murid-murid mereka. Mereka juga menulis banyak kitab dalam masalah ini, seperti penulis shahih Bukhari dan Shahih Muslim, penulis kitab-kitab sunan, kitab-kitab musnad.
Sebagian di antara mereka, ada yang hidup pada akhir abad kedua dan ada pula yang hidup pada abad ketiga, maksudnya masih dalam abad-abad yang diutamakan. Kemudian generasi setelah mereka, orang-orang yang menulis dalam masalah furu’ itu, semoga Alloh memberikan manfaat dengan ilmu-ilmu mereka.
Metoda Belajar Salaf
Pertama, hafalan. Tidak diragukan lagi bahwa ilmunya para salaf itu benar, lebih dapat berbuah (kebaikan) dan lebih absah. Karena kesibukan mereka dengan ilmu ini dan antusiasme mereka untuk menulis dan mengokohkannya. Semua ini merupakan karunia Alloh kepada mereka.
Hal itu karena mereka ketika menerima warisan ilmu, sebagian di antara mereka sibuk untuk menghafalnya dalam dada hingga tidak pernah lupa. Sehingga Alloh menganugerahkan orang saat itu hafalan yang kuat, sampai-sampai diriwayatkan dari As Sya’bi Amir bin Syarahbil mengatakan, “Aku tidak pernah menuliskan hitam di atas putih”. Maksudnya dia hanya menghafal, dia menghafal semua ilmu yang sampai kepadanya, dan tidak butuh menulis di buku. Buktinya adalah atsar-atsar dan hadits-hadits yang diriwayatkan darinya.
Kedua, pemahaman. Hal ini dengan memahami nash-nash, mempelajarinya dan menyimpulkan hukum darinya.
Ketiga, kombinasi antara hafalan dan pemahaman. Dalam masalah ini, Rasulullah membuat sebuah permisalan dengan air hujan yang jatuh ke bumi dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa air hujan, jika jatuh ke muka bumi, maka bumi terbagi menjadi empat:
Menadah air sehingga manusia bercocok tanam, memberi minum ternak-ternak mereka dan bisa melepaskan dahaga dengannya. Bagian ini sama dengan kedudukan orang-orang yang dianugerahkan Alloh hafalan, meskipun tidak memiliki pemahaman.
Bumi yang kena air atau hujan, akan tetapi tanah ini tidak bisa menadah air, namun diserap. Kemudian tumbuhan mulai tumbuh dan manusia bisa memanfaatkan tumbuhan ini dan menggembalakan ternak mereka disana. Bagian ini sama dengan kedudukan para ulama ahli fikih yang berikan kemampuan untuk memahami dan menyimpulkan hukum, meskipun dia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal.
Bumi yang memiliki kedua sifat di atas yaitu bisa menadah air hujan untuk keperluan minum, dan sisanya untuk menumbuhkan rumput yang banyak. Ini sama dengan orang yang mengumpulkan antara dua hal itu yaitu antara hafalan dan pemahaman.
Bumi yang gersang, tidak bisa menumbuhkan tanaman juga tidak menahan air. Ini perumpamaan bagi orang yang tidak menyibukkan dengan ilmu sedikit pun bahkan dia menjauhinya.
pembagian ini dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Sesungguhnya perumpamaan ilmu dan hidayah yang aku bawa seperti air hujan yang menimpa bumi. Di antara bumi ini ada yang kelompok yang baik, dia menerima air lalu menumbuhkan rumput yang banyak, di antaranya juga ada yang gersang (cadas), dia bisa menahan (menadah) air, sehingga bisa dimanfaatkan oleh manusia, manusia bisa minum, mengairi (tanaman) dan bisa menggembala. Dan air hujan itu juga mengenai bagian bumi yang lain yaitu lembah yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput. Itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Alloh (Islam), dia mendapatkan manfaat dari apa yang aku bawa, dia tahu lalu mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak memperdulikannya sama sekali dan tidak menerima hidayah dari Alloh yang aku bawa.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 79, Imam Muslim no. 2282 dari Abu Musa Al Asy’ari rodhiallohu ‘anhu)
–bersambung insya Alloh—
Oleh karena itu, para ulama umat ini yang sibuk dengan ilmu tafsir berdalil dengan hadits-hadits serta atsar-atsar yang berhubungan dengan Al Quran, karena memang dia adalah penjelas bagi Al Quran. Kita sudah tahu bahwa Alloh menurunkan syariat dan risalah ini kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Alloh memerintahkannya untuk menyampaikan risalah ini, dengan firman-Nya:
إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ
“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)” (QS As Syura: 48) dan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ
“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (QS Al Maidah: 67)
Kita beriman tanpa ragu bahwa Rasulullah telah menyampaikan risalah itu, bahkan Rasulullah tidak sebatas menyampaikan risalah kepada mereka akan tetapi beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya dengan amal dan perkataan. Rasulullah menjelaskan sesuatu yang samar bagi mereka, menerangkan sesuatu yang perlu diterangkan, sebagai realisasi dari firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS An Nahl: 44)
Penjelasan beliau terhadap Al Quran adalah penjelasan beliau dengan praktek dalam sholat, haji, masalah-masalah lain yang masih global, seperti hudud dan sanksi. Begitu juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan ayat-ayat, menerangkan makna-maknanya sebagaimana telah dipersaksikan oleh para ahli tafsir. Dan tidak diragukan juga bahwa para sahabat (yang telah mendapatkan penjelasan langsung dari Rasulullah -pent) ini telah menyampaikan seluruhnya kepada murid-muridnya, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk itu. Terdapat dalam hadits yang sah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِيُبَلِّغَ الشَّاهِدُ الغَائِبَ
“Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 68 dari Abu Bakar rodhiallohu ‘anhu dan Imam Muslim no. 1354 dari Abu Syuraih rodhiallohu ‘anhu)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang sah:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا وَ أَدَّهَا كَمَا سَمِعَهَا فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرُ فَقِيْهٍ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
“Semoga Alloh membaguskan wajah orang yang mendengarkan sabdaku, lalu menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana dia mendengarnya. Bisa jadi orang yang diberitahu lebih paham daripada orang yang mendengar (dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam), terkadang orang yang membawa fikih bukanlah orang yang faqih dan bisa jadi pembawa fikih membawanya kepada orang yang lebih bisa memahaminya” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad 5/187, Imam Abu Daud no. 3660, Imam Tirmidzi no. 2656 dan Ibnu Majah no. 230 dari hadits Zaid bin Tsabit rodhiallohu ‘anhu)
Ketika para sahabat mendengar sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam ini, mereka tahu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam akan wafat dan mereka akan mengemban risalah ini setelahnya, mengemban nash-nashnya, makna-maknanya dan kaifiyah (tata cara)nya. Maka mereka tidak tinggal diam, mereka menyampaikan dan memberitahukan kepada orang-orang tertentu dan orang umum, apa yang mereka tahu dan apa yang mereka hafal serta dapatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah, amal mereka nampak sebagai realisasi dari ilmu. Karena ilmu yang benar, pasti akan diiringi amal perbuatan, karena amal merupakan buah ilmu.
Dan tidak diragukan bahwa ilmu-ilmu para salaf yang mereka dapatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka dapatkan dari para guru mereka dan tokoh-tokoh sahabat adalah ilmu-ilmu yang benar. Semuanya berkait dengan syariat, berkait dengan perintah dan larangan Alloh subhanahu wa ta’ala. Mereka mempelajari ilmu yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Alloh subhanahu wa ta’ala yaitu masalah-masalah ibadah. Mereka mempelajari amalan-amalan yang harus dikerjakan dalam kehidupan ini serta hal-hal haram yang harus ditinggalkan. Mereka mempelajari semua masalah ini dan menyampaikannya.
Tidak diragukan, bahwa orang yang mengikuti mereka dalam masalah ini –generasi setelahnya meskipun beberapa abad– akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama mereka. Karena mengikuti mereka, mewarisi ilmu-ilmu dan antusiasme mereka bahkan membukukan kejadian-kejadian itu merupakan pengutamaan mereka dan bukti cinta mereka kepada para salaf dan bukti penghargaan terhadap salaf dengan penghargaan yang layak. Orang seperti ini tidak disangsikan lagi, dia akan mengikuti salaf dengan iman dan amal; mereka melakukan amalan-amalan yang dilakukan para salaf. Kemudian di hari kiamat, dikumpulkan bersama para salaf. Orang yang cinta kepada suatu kaum, maka dia akan dikumpulkan bersama dengan orang yang dia cinta, sebagaimana diterangkan dalam hadits. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 6169 dan Imam Muslim 2640 dari Abdullah bin Mas’ud, dan lafazh hadits ini adalah riwayat Imam Muslim, Abdullah rodhiallohu ‘anhu mengatakan: “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang cinta kepada satu kaum padahal dia belum pernah menjumpai mereka?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang itu bersama dengan yang dia cinta.”)
Maka kami katakan, dalam keadaan membahas tentang ilmu salaf, “Sesungguhnya wajib atas kita untuk mempelajari ilmu yang benar yang diwariskan oleh para salaf dari Nabi mereka shalallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib atas kita untuk memprioritaskannya di atas ilmu-ilmu lain yang menyainginnya”. Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh salaf ada beberapa macam:
Pertama, ilmu yang mereka ucapkan dengan lisan dan mereka yakini dengan hati. Ini adalah masalah aqidah.
Kedua, mereka mempelajari dari Rasulullah ilmu yang bisa mendekatkan diri kepada Alloh. Ini adalah urusan ibadah.
Ketiga, mereka mempelajari dari nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang wajib mereka lakukan dalam kehidupan dan mempelajari perkara haram yang wajib mereka tinggalkan dan lain sebagainya.
Tidak diragukan lagi, bahwa siapa saja yang mengikuti mereka –meskipun dia ada beberapa dekade setelah mereka– maka dia akan dikumpulkan bersama mereka, karena dengan mengikuti mereka, berarti mengutamakan mereka, mencintai mereka dan menghargai mereka sebagaimana mestinya. Dan siapa saja yang mencintai suatu kaum maka dia akan dikumpulkan bersama mereka.
Kalau kita tidak menyibukkan dengan ilmu-ilmu ini berarti kita kehilangan banyak ilmu dan hilang kesempatan mendekatkan diri kepada Alloh dengan amal-amal shalih. Sebaliknya, jika menyibukkan diri dengannya dan arahkan langkah kita ke sana, maka kita akan sampai kepada Alloh dalam keadaan berada di atas jalan yang lurus, kita menempuh jalan lurus, tidak ada penyimpangan dan kebengkokan.
Sedangkan jika mengikuti orang setelah generasi salaf dan kita menempuh jalan-jalan menyimpang dalam amalan-amalan kita, maka kita akan masuk ke dalam jurang kebinasaan, minimalnya kita (terjerumus) mengadakan perbuatan bid’ah yang tidak pernah diperintahkan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala.
Ilmu para salaf terbentuk dari ilmu nash-nash dan mencakup menghafal ayat dan hadits-hadits, memahaminya dan menjelaskannya, menjelaskan makna dan kandungannya, mengamalkan. Demikian juga mencakup masalah menampakkannya dan mengajarkannya. Jadi sumber ilmu-ilmu mereka adalah: hafalan, pemahaman, praktek, dan menjelaskan.
Klasifikasi Ilmu Salaf
Ilmu para salaf dapat dikategorikan menjadi beberapa:
Pertama, ilmu tentang ayat-ayat Al Quran, maknanya dan yang terkait dengannya. Ini disebut tafsir.
Kedua, ilmu hadits, cabang dan pengklasifikasiannya serta pembagiannya dalam beberapa macam dan lain sebagainya. Termasuk juga yang terkait dengannya adalah mengetahui hadits shahih dari yang lemah, yang dapat diterima dan yang tertolak dan mengetahui para perawi dan riwayat yang berhubungan dengan mereka. Ini disebut ilmu sunnah.
Ketiga, ilmu memahami dan mengambil faedah dari nash. Ini disebut ilmu fikih.
Keempat, ilmu i’tiqad (keyakinan). Mereka membaginya menjadi ilmu ushul dan furu’ (cabang). Yang ushul yaitu ilmu yang berkait dengan aqidah. Ilmu ini mereka jelaskan dan terangkan dari satu sisi tertentu. Sedangkan yang berkait dengan furu’ (cabang) mereka jelaskan dari segi yang lainnya.
Ketika mereka menyadari bahwa ada beberapa masalah yang menyebabkan seseorang bisa menjadi kafir, mereka menyendirikannya dalam tulisan. Mereka menulis banyak kitab yang berkait dengan aqidah, ilmu sunnah. Karena melihat dan menyaksikan beberapa ahlul bid’ah yang dikhawatirkan akan melakukan pengrusakan di muka bumi, maka membantah kebid’ahan-kebid’ahan mereka. Mereka menulis sesuatu yang membantah syubhat-syubhat yang mereka lontarkan kepada orang lemah imannya.
Alloh menjagakan kitab-kitab yang ditulis oleh para salaf tersebut buat kita. Misalnya bisa didapatkan kitab-kitab yang berisi aqidah yang ditulis pada abad kedua, kebanyakannya ditulis pada abad ketiga. Kitab-kitab ini ada dan mudah didapatkan. Jika seorang alim mengumpulkannya, membacanya dan mengikat diri dengannya, maka dia akan tahu bahwa para salaf berada di atas aqidah yang kokok dan ilmu yang dalam. Nara sumber ilmu mereka adalah dua wahyu yaitu Al Quran dan sunnah yang jadikan sebagai referensi.
Sedangkan masalah far’iyah (cabang) yang ditulis oleh para salaf dan diwariskan turun temurun, juga banyak. Hal ini karena mereka ingin menjaga sunnah nabi mereka dan ilmu diwarisi dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka menulis kitab-kitab mereka dalam masalah furu’. Mereka isi dengan hadits-hadits yang sah dari nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka riwayatkan dengan membawakan sanadnya sampai ke nara sumbernya (yaitu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam). Kitab-kitab mereka juga berisi atsar-atsar dari sahabat, tabi’in yang menjelaskan perkataan dan pendapat mereka.
Ini semua demi menjaga ilmu itu sehingga tidak terlupakan. Karena Alloh subhanahu wa ta’ala telah menjamin keterpeliharaan syariat ini, maka Alloh menakdirkan ulama-ulama salaf untuk syariat ini yang akan menjaganya:
Dengan sanad dalam dada mereka.
Dengan menuliskan sanad dan mengetahui orang-orangnya agar bisa mengetahui hadits yang shahih dari yang lemah.
Dengan menulisnya. Karena mereka khawatir, ada ilmu sedikit yang hilang akibat lupa atau lainnya, akibat wafatnya orang yang menghafalnya di dada mereka. Karenanya mereka segera membukukannya sehingga syariat ini tetap terjaga tidak ada yang hilang.
Yang termasuk imam abad kedua dalam masalah ini yaitu Imam Malik dan Abu Hanifah yang banyak menulis pada abad kedua tentang permasalahan yang berkait dengan furu’. Begitu juga dua teman Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan. Termasuk orang-orang yang ada pada zaman itu adalah Ibnu Juraij, Abdurrazaq bin Hammam, Ma’mar bin Rasyid dan ulama lain pada masa itu.
Kemudian setelah mereka adalah murid-murid mereka. Mereka juga menulis banyak kitab dalam masalah ini, seperti penulis shahih Bukhari dan Shahih Muslim, penulis kitab-kitab sunan, kitab-kitab musnad.
Sebagian di antara mereka, ada yang hidup pada akhir abad kedua dan ada pula yang hidup pada abad ketiga, maksudnya masih dalam abad-abad yang diutamakan. Kemudian generasi setelah mereka, orang-orang yang menulis dalam masalah furu’ itu, semoga Alloh memberikan manfaat dengan ilmu-ilmu mereka.
Metoda Belajar Salaf
Pertama, hafalan. Tidak diragukan lagi bahwa ilmunya para salaf itu benar, lebih dapat berbuah (kebaikan) dan lebih absah. Karena kesibukan mereka dengan ilmu ini dan antusiasme mereka untuk menulis dan mengokohkannya. Semua ini merupakan karunia Alloh kepada mereka.
Hal itu karena mereka ketika menerima warisan ilmu, sebagian di antara mereka sibuk untuk menghafalnya dalam dada hingga tidak pernah lupa. Sehingga Alloh menganugerahkan orang saat itu hafalan yang kuat, sampai-sampai diriwayatkan dari As Sya’bi Amir bin Syarahbil mengatakan, “Aku tidak pernah menuliskan hitam di atas putih”. Maksudnya dia hanya menghafal, dia menghafal semua ilmu yang sampai kepadanya, dan tidak butuh menulis di buku. Buktinya adalah atsar-atsar dan hadits-hadits yang diriwayatkan darinya.
Kedua, pemahaman. Hal ini dengan memahami nash-nash, mempelajarinya dan menyimpulkan hukum darinya.
Ketiga, kombinasi antara hafalan dan pemahaman. Dalam masalah ini, Rasulullah membuat sebuah permisalan dengan air hujan yang jatuh ke bumi dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa air hujan, jika jatuh ke muka bumi, maka bumi terbagi menjadi empat:
Menadah air sehingga manusia bercocok tanam, memberi minum ternak-ternak mereka dan bisa melepaskan dahaga dengannya. Bagian ini sama dengan kedudukan orang-orang yang dianugerahkan Alloh hafalan, meskipun tidak memiliki pemahaman.
Bumi yang kena air atau hujan, akan tetapi tanah ini tidak bisa menadah air, namun diserap. Kemudian tumbuhan mulai tumbuh dan manusia bisa memanfaatkan tumbuhan ini dan menggembalakan ternak mereka disana. Bagian ini sama dengan kedudukan para ulama ahli fikih yang berikan kemampuan untuk memahami dan menyimpulkan hukum, meskipun dia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal.
Bumi yang memiliki kedua sifat di atas yaitu bisa menadah air hujan untuk keperluan minum, dan sisanya untuk menumbuhkan rumput yang banyak. Ini sama dengan orang yang mengumpulkan antara dua hal itu yaitu antara hafalan dan pemahaman.
Bumi yang gersang, tidak bisa menumbuhkan tanaman juga tidak menahan air. Ini perumpamaan bagi orang yang tidak menyibukkan dengan ilmu sedikit pun bahkan dia menjauhinya.
pembagian ini dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Sesungguhnya perumpamaan ilmu dan hidayah yang aku bawa seperti air hujan yang menimpa bumi. Di antara bumi ini ada yang kelompok yang baik, dia menerima air lalu menumbuhkan rumput yang banyak, di antaranya juga ada yang gersang (cadas), dia bisa menahan (menadah) air, sehingga bisa dimanfaatkan oleh manusia, manusia bisa minum, mengairi (tanaman) dan bisa menggembala. Dan air hujan itu juga mengenai bagian bumi yang lain yaitu lembah yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput. Itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Alloh (Islam), dia mendapatkan manfaat dari apa yang aku bawa, dia tahu lalu mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak memperdulikannya sama sekali dan tidak menerima hidayah dari Alloh yang aku bawa.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 79, Imam Muslim no. 2282 dari Abu Musa Al Asy’ari rodhiallohu ‘anhu)
–bersambung insya Alloh—
Alhamdulillah, dapat pelajaran beberapa hadits. Jazaakallah khairan.
BalasHapusalhamdulillah telah diingatkan tentang agama Islam...
BalasHapusmakasih sob...
alhamdulillah dapat ilmu lagi dengan mengunjungi blog ini menjadi adem di hati, makasih sob atas infonya...
BalasHapus