Minggu, 31 Januari 2010

Kewajiban Ittiba' [Mengikuti] Jejak Salafush Shalih Dan Menetapkan Manhajnya 3/3

C. DALIL-DALIL DARI PENJELASAN SALAFUSH SHALIH

"Artinya : Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian ber-buat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini.” [1]

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan:

“ Artinya : Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.” [2]

Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan:

"Artinya : “Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak seba-gaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah se-bagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikuti-lah jalan Salafush Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.” [3]

Beliau rahimahullah juga berkata:

“Artinya : Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah diri kamu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapat-nya dengan perkataannya yang indah.” [4]

Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata:

"Artinya :Mereka mengatakan: ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.” [5]

Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata:
Ãõ
“Artinya : Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [6]

Jadi, dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah meyakini bahwa kema’shuman dan keselamatan hanya ada pada manhaj Salaf. Dan bahwa-sanya seluruh manhaj yang tidak berlandaskan kepada al-Qur-an dan as-Sunnah MENURUT PEMAHAMAN SALAFUS SHALIH adalah menyimpang dari ash Shirath al-Mustaqiim, penyimpangan itu sesuai dengan kadar jauhnya mereka dari manhaj Salaf. Dan kebenaran yang ada pada mereka juga sesuai dengan kadar kedekatan mereka dengan manhaj Salaf. Sekiranya para pengikut manhaj-manhaj menyimpang itu mengikuti pedoman manhaj mereka niscaya mereka tidak akan dapat mewu-judkan hakekat penghambaan diri kepada Allah Jalla wa ’Ala sebagaimana mestinya selama mereka jauh dari man-haj Salaf. Sekiranya mereka berhasil meraih tampuk ke-kuasaan tidak berdasarkan pada manhaj yang lurus ini, maka janganlah terpedaya dengan hasil yang mereka peroleh itu. Karena kekuasaan hakiki yang dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah bagi orang-orang yang berada di atas manhaj Salaf ini.

Janganlah kita merasa terasing karena sedikitnya orang-orang yang mengikuti kebenaran dan jangan pula kita terpedaya karena banyaknya orang-orang yang tersesat.

Ahlus Sunnah meyakini bahwa generasi akhir ummat ini hanya akan menjadi baik dengan apa yang menjadi-kan baik generasi awalnya. Alangkah meruginya orang-orang yang terpedaya dengan manhaj (metode) baru yang menyelisihi syari’at dan melupakan jerih payah Salafush Shalih. Manhaj (metode) baru itu semestinya dilihat de-ngan kacamata syari’at bukan sebaliknya.

Fudhail bin ‘Iyad rahimahullah berkata:

“Artinya : Ikutilah jalan-jalan petunjuk (Sunnah), tidak membahaya-kanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan tersebut. Jauh-kan dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebi-nasaan.” [7]

PERHATIAN PARA ULAMA TENTANG ‘AQIDAH SALAFUSH SHALIH

Sesungguhnya para ulama mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ‘aqidah Salafush Shalih. Mereka menulis kitab-kitab yang banyak sekali untuk menjelas-kan dan menerangkan ‘aqidah Salaf ini, serta membantah orang-orang yang menentang dan menyalahi ‘aqidah ini dari berbagai macam firqah dan golongan yang sesat. Karena sesungguhnya ‘aqidah dan manhaj Salaf ini di-kenal dengan riwayat bersambung yang sampai kepada imam-imam Ahlus Sunnah dan ditulis dengan penjelasan yang benar dan akurat.

Adapun untuk mengetahui ‘aqidah dan manhaj Salaf ini, maka kita bisa melihat:

Pertama.
penyebutan lafazh-lafazh tentang ‘aqidah dan manhaj salaf yang diriwayatkan oleh para Imam Ahlul Hadits dengan sanad-sanad yang sah.

Kedua
Yang meriwayatkan ‘aqidah dan manhaj Salaf adalah seluruh ulama kaum Muslimin dari berbagai ma-cam disiplin ilmu: Ahlul Ushul, Ahlul Fiqh, Ahlul Hadits, Ahlut Tafsir, dan yang lainnya.

Sehingga ‘aqidah dan manhaj salaf ini diriwayatkan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu secara mutawatir.

Penulisan dan pembukuan ‘aqidah dan manhaj salaf (seiring) bersamaan dengan penulisan dan pembukuan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pentingnya ‘aqidah salaf ini di antara ‘aqidah-’aqidah yang lainnya, yaitu antara lain:

1. Bahwa dengan ‘aqidah salaf ini seorang muslim akan mengagungkan al-Qur-an dan as-Sunnah, adapun ‘aqi-dah yang lain karena mashdar-nya (sumbernya) hawa nafsu, maka mereka akan mempermainkan dalil, sedang dalil dan tafsirnya mengikuti hawa nafsu.

2. Bahwa dengan ‘aqidah salaf ini akan mengikat seorang Muslim dengan generasi yang pertama, yaitu para Sha-habat ridhwanullahi ‘alaihim jamii’an yang mereka itu adalah sebaik-baik manusia dan ummat.

3. Bahwa dengan ‘aqidah salaf ini, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan bersatu sehingga dapat mencapai kemuliaan serta menjadi sebaik-baik ummat. Hal ini karena ‘aqidah salaf ini berdasarkan al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat. Adapun ‘aqidah selain ‘aqidah salaf ini, maka dengannya tidak akan tercapai persatuan bahkan yang akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran. Imam Malik berkata:

"Artinya : “Tidak akan baik akhir ummat ini melainkan apabila mereka mengikuti baiknya generasi yang pertama ummat ini (Shahabat).” [8]

4. Aqidah salaf ini jelas, mudah dan jauh dari ta’wil, ta’thil, dan tasybih. Oleh karena itu dengan kemudahan ini setiap muslim akan mengagungkan Allah Jalla wa ’Ala dan akan merasa tenang dengan qadha’ dan qadar Allah Jalla wa ’Ala serta akan mengagungkan-Nya.

5. ‘Aqidah salaf ini adalah ‘aqidah yang selamat, karena as-Salafush Shalih lebih selamat, tahu dan bijaksana (aslam, a’lam, ahkam). Dan dengan ‘aqidah salaf ini akan membawa kepada keselamatan di dunia dan akhirat, oleh karena itu berpegang pada ‘aqidah salaf ini hu-kumnya wajib.


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi I/69, Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah I/96 no. 104, oleh al-Laalikaa-iy, ath-Thabrany dalam al-Kabir, sebagaimana kata al-Haitsamy dalam Majma’uz Zawaaid I/181.
[2]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih II/947 no. 1810, tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairy.
[3]. Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/174 no. 315
[4]. Imam al-Aajury dalam as-Syari’ah I/445 no. 127, di-shahih-kan oleh al-Albany dalam Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby hal. 138, Siyar A’laam an-Nubalaa’ VII/120.
[5]. HR. Ad-Darimy I/54, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah I/356 no. 242. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/98 no. 109.
[6]Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/175-185 no. 317.
[7]. Lihat al-I’tisham I/112
[8]. Lihat Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhis Syaitan hal. 313, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Khalid Abdul Latiif as-Sab’il ‘Alamiy, cet. Daarul Kitab ‘Araby, 1422 H. Sittu Durar min Ushuli Ahli Atsar hal. 73 oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany.

______________________
MARAJI’
1. Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly, cet. Makta-bah al-Furqaan, th. 1421 H.
2. Tafsiir al-Qayyim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah th. 1398 H.
3. Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly, cet. Markaz ad-Diraasah al-Man-hajiyyah as-Salafiyyah, th. 1420 H.
4. Musnad Imam Ahmad, Imam Ahmad bin Hanbal, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
5. Sunan ad-Darimy, Imam ad-Darimy, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
6. Al-Mustadrak, Imam al-Hakim, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
7. Syarhus Sunnah, oleh Imam al-Baghawy, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muhammad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H.
8. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim, takhrij Syaikh al-Albany.
9. Tafsiir an-Nasaa-i, Imam an-Nasa-i, tahqiq: Shabri bin ‘Abdul Khaliq asy-Syafi’i dan Sayyid bin ‘Abbas al-Jalimy, cet. Maktabah as-Sunnah, th. 1410 H.
10. Shahih al-Bukhary.
11. Shahih Muslim.
12. Al-Ishaabah fii Tamyiiz ash-Shahaabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
13. Fa-idhul Qadir, Imam al-Munawy.
14. Nadhmul Mutanatsir, oleh al-Kattany.
15. Majma’-uz Zawaa-id, oleh al-Hafizh al-Haitsamy, cet. Daarul Kitab al-‘Araby-Beirut, th. 1402 H.
16. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq: Ahmad Mu-hammad Syakir, cet. Daarul Hadits, th. 1416 H.
17. Sunan at-Tirmidzi.
18. Sunan Abi Dawud.
19. Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, oleh Imam al-Lalikaa-i, cet. Daar Thayyibah, th. 1418 H.
20. Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah, oleh Imam Muham-mad Nashirudin al-Albany.
21. Shahihul Jaami’ ash-Shaghir, oleh Imam Muhammad Nashirudin al-Albany.
22. Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits Ma Ana ‘alaihi wa Ash-habii, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Raayah, 1410 H.
23. Al-Mu’jamul Kabiir, oleh Imam ath-Thabrany, tahqiq: Hamdi ‘Abdul Majid as-Salafy, cet. Daar Ihyaa’ al-Turats al-‘Araby, th. 1404 H.
24. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih, oleh Imam Ibnu ‘Abdil Baar, tahqiq: Abul Asybal Samir az-Zuhairy, cet. Daar Ibnul Jauzy, th. 1416 H.
25. Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby, tahqiq: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktab al-Islamy, th. 1424 H.
26. Siyar A’lamin Nubalaa’, oleh Imam adz-Dzahaby.
27. Al-I’tishaam, oleh Imam asy-Syathiby, tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. Daar Ibni ‘Affan, tahun 1412 H.
28. Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidhisy Syaitan, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: Khalid Abdul Latiif as-Sab’il ‘Alamiy, cetakan Daarul Kitab ‘Araby, th. 1422 H.
29. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany, cet. Maktabah al-‘Umarain al-‘Ilmiyyah, th. 1420 H.


Sumber


Jumat, 29 Januari 2010

INFORMASI PENERBANGAN GRATIS AL-JENAZAH AIRLINES, LAYANAN PENUH 24 JAM

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Assalamu’alaikum warahamatullahi wabarakatuh…...

INFORMASI PENERBANGAN GRATIS AL-JENAZAH AIRLINES, LAYANAN PENUH 24 JAM

Informasi ini contoh yang pasti akan terjadi pada diri mahluk yang bernyawa..dan ini adalah gambaran kita hidup didunia ini yang tidak abadi. Bila kita akan ‘berangkat” dari alam ini, ia ibarat penerbangan ke sebuah negara.

Dimana informasi tentangnya tidak terdapat dalam brosur penerbangan, tetapi melalui Al-Qur’an dan Al-Hadits.
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ ثُمَّ أَنْتُمْ تَمْتَرُونَ
Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu). [QS.AL-AN'AAM : 2]


Di mana penerbangan bukannya dengan Garuda Airlines, Singapore Airlines, atau US Airlines, tetapi Al-Jenazah Airlines.

Di mana bekal kita bukan lagi tas seberat 23Kg, tetapi amalan yang tak lebih dan tak kurang.

Di mana bajunya bukan lagi Pierre Cardin, atau setaraf dengannya, akan tetapi kain kafan putih, seperti didalam hadits.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika wafat ditutup dengan kain bermotif dari Yaman. Muttafaq Alaihi..
dan Hadits
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Mengenai orang yang terjatuh dari kendaraannya kemudian meninggal, mandikanlah ia dengan air dan bidara, dan kafankanlah dengan dua lapis kainnya." Muttafaq Alaihi. 4:yakni dengan kedua pakaian ihramnya. Saat itu ia sedang wuquf di Arafah pada haji wada'. Kelanjutan sabda beliau adalah: Janganlah kamu membalsamnya dan jangan menutupi kepalanya, karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat sebagai orang yang bertalbiyah).


Di mana pewanginya bukan Channel atau Polo, tetapi air biasa yang suci, seperti dalam hadits berikut ;
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Ketika seorang laki-laki wukuf di Arafah bersama Rasulullah tiba-tiba ia jatuh dari kendaraannya, lalu lehernya patah. (Dalam satu riwayat: 'Dipatahkan lehernya oleh untanya, sedang kami bersama Nabi yang sedang ihram, lalu orang itu meninggal dunia.) Nabi bersabda, 'Mandikanlah dengan air dan bidara, dan kafanilah dalam dua kain (atau: kedua kainnya 2/217). Jangan kamu kenakan wewangian padanya, dan jangan kalian tutupi kepalanya. Karena, sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan dia membaca talbiah.'"


Di mana passport kita bukan Indonesia , British atau American, tetapi Al-Islam.

Di mana visa kita bukan lagi sekedar 6 bulan, tetapi ‘Laailaahaillallah’, seperti dalam hadits ;
,b>Ditanyakan kepada Wahab bin Munabbih, "Bukankah laa ilaaha illallah itu merupakan kunci surga?" Wahab menjawab, "Benar, tetapi tidak dinamakan kunci kalau tidak mempunyai gigi. Jadi, jika kamu datang dengan membawa kunci bergigi tentu kamu akan dibukakan, dan jika tidak demikian, pasti tidak dibukakan untukmu."
dan hadits berikut ;
Abdullah (bin Mas'ud) berkata, "Rasulullah bersabda (dengan suatu kalimat, sedang aku berkata lain. Nabi bersabda), 'Barangsiapa yang meninggal dunia sedangkan dia menyekutukan Allah dengan sesuatu (dalam suatu riwayat: Barangsiapa meninggal dunia sedangkan dia menyeru sekutu selain Allah), maka dia masuk neraka. Barangsiapa yang meninggal dunia sedangkan dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun (dalam riwayat lain: Barangsiapa yang meninggal dunia sedangkan dia tidak menyeru kepada sekutu selain Allah), maka ia masuk surga."

Di mana pelayannya bukan pramugari jelita, tetapi Izrail dan lain-lain.

Di mana servisnya bukan lagi kelas business atau ekonomi, tetapi sekedar kain yang diwangikan.

Di mana tujuan mendarat bukannya Bandara Cengkareng, Heathrow Airport atau Jeddah International, tetapi tanah pekuburan.

Di mana ruang menunggunya bukan lagi ruangan ber AC dan permadani, tetapi ruang 2×1 meter, gelap gulita.

Di mana pegawai imigrasi adalah Munkar dan Nakir, mereka hanya memeriksa apakah kita layak ke tujuan yang diidamkan.

Di mana tidak perlu satpam dan alat detector.

Di mana lapangan terbang transitnya adalah Al Barzah

Di mana tujuan terakhir apakah Syurga yang mengalir sungai di bawahnya atau Neraka Jahannam, seperti dalam hadits ;
Nabi saw bersabda, "Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya."


Penerbangan ini tidak akan dibajak atau dibom, karena itu tak perlu bimbang.

Sajian tidak akan disediakan, oleh karena itu tidak perlu merisaukan masalah alergi atau halal haram makanan.

Jangan risaukan cancel pembatalan, penerbangan ini senantiasa tepat waktunya, ia berangkat dan tiba tepat pada masanya.

Jangan pikirkan tentang hiburan dalam penerbangan, karena anda telah hilang selera bersuka ria.

Jangan bimbang tentang pembelian tiket, karena tiket telah siap di booking sejak ruh anda ditiupkan di dalam rahim ibu.

YA! BERITA BAIK!! Jangan bimbangkan siapa yang duduk di sebelah anda.

Anda adalah satu-satunya penumpang penerbangan ini.

Oleh karena itu bergembiralah selagi bisa! Dan sekiranya anda bisa!

Hanya ingat! Penerbangan ini datang tanpa ‘Pemberitahuan’ .

Cuma perlu ingat!! Nama anda telah tertulis dalam tiket untuk Penerbangan. ….

Saat penerbangan anda berangkat… tanpa doa Bismillahi Tawakkaltu ‘Alallah, atau ungkapan selamat jalan.

Tetapi Inalillahi Wa Inna ilaihi Rajiuun….. .

Anda berangkat pulang ke Rahmatullah. Mati.

ADAKAH KITA TELAH SIAP UNTUK BERANGKAT?

‘Orang yang cerdas adalah orang yang mengingat kematian. Karena dengan

kecerdasannya dia akan mempersiapkan segala perbekalan untuk menghadapinya. ‘

ASTAGHFIRULLAH, semoga ALLAH SWT mengampuni kita beserta keluarga….

Amiin

WALLAHU A’LAM

Catatan:

Penerbangan ini berlaku untuk segala umur… tanpa kecuali, maka perbekalan lebih baik dipersiapkan sejak dini….. sangat tidak bijak dan tidak cerdas bagi yang menunda-nunda mempersiapkan perbekalannya.

Sumber

Kamis, 28 Januari 2010

Kewajiban Ittiba' [Mengikuti] Jejak Salafush Shalih Dan Menetapkan Manhajnya 2/3

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan 2/3




B. DALIL-DALIL DARI AS-SUNNAH

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda: ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tak satu pun dari jalan-jalan ini ke-cuali di dalamnya terdapat syaitan yang menyeru kepa-danya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Jalla wa ’Ala: ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’aam: 153] [1]

“ Artinya : Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, ke-mudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka men-dahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” [2]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang kebaikan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia serta keutamaannya. Sedangkan per-kataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya, akhlaqnya, dakwahnya dan lain-lainnya. Oleh karena itu, mereka dikatakan sebaik-baik manusia [3]. Dan dalam riwayat lain disebutkan dengan kata "khaiyrukum" (sebaik-baik kalian) dan dalam riwayat yang lain disebutkan "khaiyru ummatiy" (sebaik-baik ummatku.’)

Kata Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

“Artinya : Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan risalah kepada-nya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hambah-hamba-Nya setelah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang di-pandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelak di sisi Allah” [4]

Dan dalam hadits lain pun disebutkan tentang kewa-jiban kita mengikuti manhaj Salafush Shalih (para Sha-habat), yaitu hadits yang terkenal dengan hadits ‘Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arbain an-Nawawiyah no. 28:

Artinya : “Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu [5]: ‘Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku wasiatkan ke-pada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kamu adalah seorang budak Habasiyyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan me-lihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perka-ra yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah sesat.’” [6]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada ummat-nya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mem-berikan jalan keluar untuk selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullaahu ‘alaihim jami’an. Hal ini me-nunjukkan tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan sunnah para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an.

Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya ummat ini menjadi 73 golongan):

“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” [7]

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Artinya : Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Shahabatku berjalan di atasnya.” [8]

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa ummat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan yaitu yang mengikuti apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya ridhwanullahu ‘alaihim jami’an. Jadi jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafus Shalih (para Shahabat).

Hadits di atas menunjukkan bahwa, setiap orang yang mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sha-habatnya adalah termasuk ke dalam al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Sedangkan yang menyelisihi (tidak mengikuti) para Shahabat, maka mereka adalah golongan yang binasa dan akan mendapat ancaman de-ngan masuk ke dalam Neraka.


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah oleh Imam al-Baghawy (no. 97), di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam as-Sunnah libni Abi ‘Ashim (no. 17), Tafsir an-Nasaa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
[2]. Muttafaq ‘alaih, al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533 (211)) dan lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishabah (I/12), al-Munawy dalam Faidhul Qadir (III/478) serta disetujui oleh al-Kattaany dalam kitab Nadhmul Mutanatsir (hal 127). Lihat Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 87).
[3]. Limadza Ikhtartu al-Manhajas Salafy (hal. 86-87).
[4]. HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178).
[5]. Perawi hadits adalah Irbadh bin Sariyah Abu Najih as-Salimi, beliau termasuk ahli Suffah, tinggal di Himsha setelah penaklukan Makkah, tentang wafatnya ahli sejarah berbeda pendapat, ada yang mengatakan tatkala peristiwa Ibnu Zubair, adapula yang mengatakan tahun 75 H. Lihat al-Ishabah (II/473 no. 5501).
[6]. HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini
[7]. HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241), al-Aajury dalam asy-Asyari’ah, al-Laalikaa-iy dalam as-Sunnah (I/113 no.150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits Shahihah (no. 203 dan 204).
[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dari Shahabat ‘Abdullah bin Amr, dan di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits Ma Ana ‘Alaihi wa Ash-habii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaaly, cet. Daarul Raayah, 1410 H, sebagaimana juga telah saya terangkan panjang lebar mengenai hadits Iftiraqul Ummah sebelum ini, walhamdulillah.


Sumber

Senin, 25 Januari 2010

Kewajiban Ittiba' [Mengikuti] Jejak Salafush Shalih Dan Menetapkan Manhajnya 1/3

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertamar dari Tiga Tulisan 1/3



Mengikuti manhaj/jalan Salafush Shalih (yaitu para Shahabat) adalah kewajiban bagi setiap individu Muslim. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:

A. DALIL-DALIL DARI AL-QUR-AN

Allah berfirman:
“Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beri-man kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam per-musuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Maha-mengetahui.” [Al-Baqarah: 137]

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata: “Pada ayat ini Allah menjadikan iman para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai timbangan (tolak ukur) untuk membedakan antara petunjuk dan ke-sesatan, antara kebenaran dan kebatilan. Apabila Ahlul Kitab beriman sebagaimana berimannya para Shahabat, maka sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab) berpaling (tidak beriman), sebagaimana imannya para Shahabat, maka mereka jatuh ke dalam perpecahan, perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh...”

Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan: “Memohon hidayah dan iman adalah sebesar-besar kewajiban, men-jauhkan perselisihan dan kesesatan adalah wajib. Jadi, mengikuti (manhaj) Shahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban yang paling wajib.” [1]

“Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” [Al-An’aam: 153]

Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa jalan itu hanya satu, se-dangkan jalan selainnya adalah jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahlul bid’ah.

Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya radhi-yallahu ‘anhum. Jalan ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengan-tarkan seseorang kepada Allah hanya SATU... Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada Allah, kecuali melalui jalan yang satu ini.[2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebe-naran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahan-nam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa’: 115]

Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum mukminin sebagai sebab seseorang akan terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam dengan ma-suk Neraka Jahannam.

Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar prinsip dalam Islam yang mempunyai konsekuensi wajibnya ummat Islam untuk mengikuti jalannya kaum mukminin dan jalannya kaum Mukminin adalah perka-taan dan perbuatan para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim ajma’iin. Karena, ketika turunnya wahyu tidak ada orang yang beriman kecuali para Shahabat, sebagaimana firman Allah jalla wa’ala:

“Artinya : Rasul telah beriman kepada al-Qur-an yang diturunkan ke-padanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beri-man.” [Al-Baqarah: 285]

Orang Mukmin ketika itu hanyalah para Shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak ada yang lain. Ayat di atas me-nunjukkan bahwa mengikuti jalan para Shahabat dalam memahami syari’at adalah wajib dan menyalahinya adalah kesesesatan. [3]

“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalam-nya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keme-angan yang besar.” [At-Taubah: 100]

Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Shahabat ridhwanullahu ‘alaihim jami’an adalah benar. Dan orang yang mengikuti mereka akan mendapatkan keri-dhaan dari Allah Jalla wa ’Ala dan disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap Mukmin. Kalau mereka tidak mau mengikuti, maka me-reka akan mendapatkan hukuman dan tidak mendapatkan keridhaan Allah Jalla wa ’Ala dan ini harus diperhatikan. [4]

“Artinya : Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” [Ali Imraan: 110]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Jalla wa ’Ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian ummat-ummat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqamahan para Shaha-bat dalam setiap keadaan, karena mereka tidak menyim-pang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Jalla wa ’Ala mempersaksikan bahwa mereka memerin-tahkan setiap kema’rufan (kebaikan) dan mencegah se-tiap kemungkaran. Hal tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka (Shahabat) adalah hujjah atas orang-orang setelah mereka, sampai Allah Jalla wa ’Ala mewariskan bumi dan seisinya.[5]


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Bashaa-iru Dzaawi Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 53), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[2]. Tafsir al-Qayyim oleh Ibnul Qayyim (hal. 14-15).
[3]. Lihat Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf (hal. 54), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.
[4]. Bashaa-iru Dzawisy Syaraf bi Syarah Marwiyati Manhajis Salaf, hal. 43, 53-54.
[5]. Lihat Limadza Ikhtartu Manhajas Salafy (hal. 86) oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly.


Sumber

Ayat Pertama Yang Turun


Dari beberapa hasil pengamatan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam sebelum itu telah membentangkan jarak pemikiran antara diri beliau dengan kaum beliau. Selagi usia beliau hampir mencapai empat puluh tahun, sesuatu yang paling disukai adalah mengasingkan diri. Dengan membawa roti dari gandum dan air beliau pergi ke gua Hira di Jabal Nur, yang jaraknya kira - kira dua mil dari Makkah, suatu gua yang tidak terlalu besar, yang panjangnya empat hasta dan lebarnya antara tiga perempat hingga satu hasta. Kadang - kadang keluarga beliau ada yang menyertai kesana. Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan keagungan alam dan sekitarnya dan kekuatan tak terhingga dibalik alam. Beliau tidak pernah merasa puas melihat keyakinan kaumnya yang penuh kemusyrikan dan segala persepsi mereka yang tak pernah lepas dari tahayul.
Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk satu sisi dari ketentuan Allah atas diri beliau, sebagai langkah persiapan untuk menerima urusan besar yang sedang ditunggunya. Ruh manusia manapun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan dibawa ke arah lain, maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk pada urusan kehidupan.

Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, untuk mengemban amanat yang besar, merubah wajah dunia dan meluruskan garis sejarah. Allah telah mengatur pengasingan ini selama tiga tahun bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam sebelum membebaninya dengan risalah. Beliau pergi untuk mengasingkan diri ini selama jangka waktu sebulan, dengan disertai ruh yang suci sambil mengamati kegaiban yang tersembunyi dibalik alam nyata, hingga tiba saatnya untuk berhubungan dengan kegaiban itu tatkala Allah sudah memperkenankannya.

Selagi Usia beliau genap empat puluh tahun, suatu awal kematangan, dan ada yang berpendapat bahwa pada usia inilah rasul diangkat menjadi rasul, mulai tampak tanda - tanda nubuwah yang menyembul dari balik kehidupan pada diri beliau.

Dituturkan dari Aisyah Radhiyallahu Anhu, bahwa Awal permulaan wahyu yang datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah berupa mimpi yang hakiki didalam tidur beliau. Beliau tidak melihat sesuatu didalam mimpinya melainkan ada sesuatu yang datang menyerupai fajar subuh. Kemudian beliau suka mengasingkan diri. Beliau menyendiri di gua Hira' dan beribadah disana, hingga datang kebenaran tatkala beliau sedang berada di gua Hira'. Malaikat mendatangi beliau seraya berkata, "BACALAH!" berikut penutura beliau, "Aku tidak bisa membaca" Dia ( malaikat Jibril ) memegangiku dan merangkulku hingga aku merasa sesak. Kemuadian melepaskanku, seraya berkata lagi, "BACALAH!" Aku menjawab, "Aku tidak bisa membaca."

Dia memegangiku dan merangkulku hingga ketiga kalinya hingga aku merasa sesak, kemudian melepaskanku, lalu berkata,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ
 الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." ( Al-Alaq : 1 - 5 )

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengulang bacaan ini dengan hati yang bergetar, lalu pulang menemui Khadijah bin Khuwailid, seraya bersabda, "Selimuti aku, selimuti aku!" maka beliau diselimuti hingga badan beliau tidak lagi mengigil layaknya terkena demam.

"Apa yang terjadi padaku?" Beliau bertanya kepada Khadijah. Maka dia memberitahukan apa yang baru saja terjadi. Beliau bersabda, "Aku khawatir terhadap keadaan diriku sendiri"

Khadijah berkata, "Tidak. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, ikut membawakan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu dan menolong orang yang menegakkan kebenaran."

Selanjutnya Khadijah membawa beliau pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul-Uzza, anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani semasa Jahiliyah. Dia menulis buku dalam bahasa Ibrani dan juga menulis Injil dalam bahasa Ibrani seperti yang dikehendaki Allah. Dia sudah tua dan buta.

Khadijah berkata kepada Waraqah, "Wahai anak pamanku, dengarkanlah kisah dari anak saudaramu ( Rasulullah )."

Waraqah bertanya kepada beliau, "Apa yang pernah engkau lihat wahai anak saudaraku?"

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengabarkan apa saja yang telah dilihatnya. akhirnya Waraqah berkata, "Ini adalah Namus yang diturunkan Allah kepada Musa. Andaikan saja aku masih muda pada masa itu. Andaikan saja aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu". "Benarkah mereka akan mengusirku?" beliau bertanya. "Benar. Tak seorangpun pernah membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan dimusuhi. Andaikan aku masih hidup pada masamu nanti, tentu aku akan membantumu secara sungguh - sungguh." Waraqah meninggal dunia pada saat - saat turun wahyu.

Nantikan kisah - kisah ( Sirah Nabawiyah ) Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berikutnya .Insya Allah......., semoga menambah keimanan kita Amin........




Jumat, 22 Januari 2010

Kewajiban Mengikuti Cara Beragamanya Sahabat 2/2

Oleh
Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]


Kesembilan belas.
Rasulullah telah bersabda:
Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah mereka [Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain]

Generasi pertama adalah
sahabat, yang kedua tabi’in dan yang ketiga adalah tabiut tabi’in. mereka inilah dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’ cara beragama kita dalam mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman sampai hari ini.

Kedua puluh.
Rasulullah telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan):

Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. [Hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat]

Hadist yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah untuk bertabligh dan berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadist yang mulia ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita diantaranya:

[a] Bahwa dakwah mereka adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia.

[b] Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.

[c] Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat. Bahwa mereka telah di ta’dil (dinyatakan bersifat adalah : tsiqah/ terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka. Oleh karena itu Ahlussunnah Wal Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah dan Rafhidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang mereka yang dahulu dan sekarang.

[d] Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.

Keduapuluh satu.
Rasulullah telah bersabda :
Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya salah seorang dari kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setegah mud. [Hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim]

Keduapuluh dua.
Para sahabat secara umum telah dijanjikan jannah (sorga). [At-Taubah : 100]

Keduapuluh tiga.
Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.

Keduapuluh empat.
Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia [Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55]

Keduapuluh lima.
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling kuat “Ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Tarikh.

Keduapuluh enam.
Di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: ”Barangsiapa yang memusuhi rasul sesudah nyata baginya kebenaran….,niscaya akan palingkan dia….”. dan kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min -yaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mu’min yaitu para sahabat”. Jadi urutan dalilnya sebagai berikut : Al-Qur’an As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama mereka, aqidah dan manhaj.

[Dikutip dari Kitab besar saya yaitu “Menanti buah hati dan hadiah untuk yang dinanti]


[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi:02/V/1421-2001M, hal 51-53]

Sumber

Sumber: Kumpulan Makalah Ustadz Kholid Syamhudi, jazaahullohu ahsanal jaza’

BOLEHKAH SUAMI MEMAKAN / MEMAKAI GAJI ISTERI?


Gaji atau pendapatan milik isteri, yang ia peroleh dari kerjanya, dapat berpengaruh positif maupun negatif dalam kehidupana rumah tangga. Artinya, pendapatan tersebut bisa lebih menguatkan sendi-sendi keluarga, atau sebaliknya justru menghancurkannya. Ikatan suami-isteri itu menjadi kuat, atau justru merenggangkannya.
Kadang, karena isteri merasa memiliki pendapatan sendiri, ia berlaku hidup boros, dengan membelanjakan hasil pendapatannya untuk membeli keperluan pribadi yang diinginkannya. Tetapi juga bisa menempanya menjadi wanita yang hemat, dan lebih bijak dalam mengolah income pribadinya, ia lantaran mengetahui betapa berat dan susahnya mencari nafkah.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah uang itu milik isteri semata, hingga tidak ada hak bagi suaminya untuk menikmatinya. Ataukah termasuk milik bersama-sama dengan suaminya. Kapan saja suami membutuhkan, ia dapat saja memakainya. Inilah tanda tanya yang muncul atas gaji atau pendapatan isteri.

Permasalahan timbul seiring dengan perjalanan hari, kian pelik dan kompleks. Seorang isteri yang mendapatkan uang (pendapatan) melalui aktifitas kerja (yang sesuai dengan kodratnya), kemudian adanya pemandangan yang berlawanan, yaitu suami yang memanfaatkan incomenya. Bisa jadi, sebagai suami ia hanya memperoleh pendapatan yang sesedikit, atau memang ia tidak bekerja. Bagaimana hukumnya dalam Islam? Menjawab perkara-perkara di atas, berikut adalah pembahasan yang akan mengantarkan menuju titik kejelasannya.

DALAM ISLAM, WANITA DIHORMATI
Hendaknya wanita muslimah bergembira dengan perlakuan Islam kepadanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengistimewakan wanita saat belay menyampaikan pesan agung pada waktu haji Wada'. Subtsansinya, memenuhi hak-hak wanita, perintah mencurahkan kebaikan kepada wanita dan memperlakukan dalam pergaulan dengannya secara baik, sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi pesan di kesempatan lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ

"Bertakwalah kalian dalam (memperlakukan) terhadap wanita". [HR Muslim, 1218].

Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah bersabda:

فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ

"Hendaklah kalian memperhatikan kaum wanita dengan baik". [HR al Bukhari, 3331 dan Musim, 1468].

Oleh karenanya, seorang wanita harus memahami, di bawah naungan Islam, ia bakal hidup dalam kemuliaan lagi berharga, penuh perlindungan dan memperoleh hak-haknya, sebagaimana telah ditetapkan Allah baginya. Kondisi ini berbeda dengan wanita pada masa Jahiliyah.[1]

NAFKAH MERUPAKAN KEWAJIBAN SUAMI[2]
Pada dasarnya, wanita (perempuan), ia merupakan bagian masyarakat yang dijamin kehidupannya sepanjang fase usianya. Baik ia sebagai anak, isteri, ibu atau saudara perempuan. Kaum lelaki dari keluarganyalah yang bertanggung jawab atas kehidupannya. Wanita tidak wajib untuk menanggung nafkah keluarga.

Bila wanita sudah berkeluarga, maka kebutuhan dan keperluan rumah serta anak-anaknya menjadi tanggung jawab sang suaminya. Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

"Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". [an Nisaa`/4 : 34].

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, sudah menjadi Ijma' ulama, ayah (suami)lah yang menafkahi anak-anak, tanpa dibarengi oleh ibu (isteri).[3]

MAHAR ADALAH MILIK WANITA
Mahar termasuk hak harta bagi seorang isteri, sehingga harus benar-benar diterima olehnya. Tidak ada orang yang lebih berhak dalam harta ini selain wanita. Syariat Islam telah menjamin kepemilikan mahar bagi wanita melalui beberapa aturan.

1). Syariat Melarang Penghapusan Mahar Dalam Pernikahan.
Mahar tidak boleh dimaafkan dan digugurkan pada awal pernikahan. Al Qurthubi, Ibnu Qudamah dan ulama lainnya telah mengutip adanya Ijma' tentang wajibnya mahar dalam pernikahan[4]. Apabila kedua belah pihak sepakat untuk menghilangkan mahar, maka masih wajib ditetapkan nilai mahar wanita semisalnya.

2). Wanita Boleh Menolak Untuk Menyerahkan Dirinya Kepada Suami, Sampai Mahar Ia Terima (Mahar Yang Berbentuk Utang Tidak Tunai).
Mahar menjadi hak wanita usai akad nikah. Saat itulah ia berhak memintanya. Tidak menutup kemungkinan mahar tidak berbentuk tunai. Atau sebagiannya masih hutang. Syariat menjamin hak ini bagi wanita dengan memperbolehkannya untuk menolak menyerahkan diri kepada suami, atau pindah ke rumah suami dan bepergian bersamanya, sampai ia menggengam maharnya.[5]

3). Mahar Yang Rusak Di Tangan Suami Sebelum Diserahkan Menjadi Tanggungan Suami.
Secara umum, para fuqaha telah sepakat, suami bertanggung jawab terhadap mahar yang hilang di tangannya. Suami wajib mengganti bila ada gantinya, atau menukarnya dengan nilainya, bila tidak ada gantinya.[6]

4). Wanita Berhak Memiliki Mahar Secara Utuh Ketika Suaminya Meninggal Setelah Akad, Meskipun Belum 'Disentuh'. Dan Wajib Diserahkan Setelah Terjadi Jima'.
Jika suami belum sempat berjima dan ia meninggal terlebih dahulu, maka wanita tetap berhak atas mahar melalui akad nikah yang telah dilaksanakan. Mahar bukan berarti batal (tidak diserahkan). Ini lantaran kondisi suami yang tidak memungkinkan untuk berhubungan badan dengan isterinya (karena ia meninggal), dan bukan dari sisi isteri, sehingga isteri berhak atas mahar secara penuh. Mahar akan menjadi hutang dalam tanggungan suami, sehingga harus dibayarkan kepada isteri, tidak gugur lantaran kematian. Hutang mahar, statusnya sama dengan hutang lainnya, ia tidak menjadi lunas karena kematian.

Para fuqaha telah menyepakati kepemilikan mahar yang disebutkan (dalam akad) secara utuh bagi isteri dengan kematian suaminya, atau mahar (wanita) semisalnya saat tidak disebutkan (dalam aqad), dengan menjadikan kematian (suaminya) sebagai faktor penegas penyerahan mahar.[7]

HASIL KERJA ISTERI, 100 % MILIKNYA
Melalui keterangan tentang mahar yang menjadi hak milik penuh isteri, yang harus ia terima dari suaminya, jawaban tentang pertanyaan di awal tulisan ini sebenarnya sudah tersibak. Kalau dalam mahar, dalam kondisi apapun, isteri akan memperolehnya, apalagi uang yang merupakan hasil dari jerih-payahnya.

Oleh karena itu, gaji, pendapatan, atau uang milik isteri yang didapatkannya dari jalan yang diperbolehkan syariat, secara penuh menjadi hak milik isteri. Sang suami, ia tidak mempunyai hak sedikit pun dari harta tersebut. Kelemahan fisik atau statusnya sebagai isteri, tidak berarti boleh "merampas" hak miliknya, atau memanfaatkan menurut kemauannya.

Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami yang mengambil uang (harta) milik isterinya[8], untuk digabungkan dengan uangnya (suami). Menjawab pertanyaan seperti ini, Syaikh al Jibrin mengatakan, tidak disangsikan lagi, isteri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan pihak lainnya.[9]

BOLEH DIMANFAATKAN, DENGAN SYARAT
Uang atau harta isteri adalah milik pribadinya, sehingga perlakuannya sama seperti halnya kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridhaan dan kerelaannya. Bila ia telah memberikan keridhaan bagi suaminya pada sebagian yang ia miliki atau semuanya, maka boleh saja dan menjadi halal bagi suaminya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

"Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 4].

Ayat di atas, adalah ditujukan kepada para suami, bukan kepada para wali wanita. Inilah pendapat yang shahih.[10]

Syaikh 'Abdur Rahman as Sa'di di dalam tafsirnya menuliskan, ketika banyak orang (suami, Pen.) berbuat aniaya kepada kaum wanita dan merampas hak-hak mereka -terutama mas kawin- yang berjumlah banyak dan diserahkan sekaligus, dirasakan berat untuk diberikan kepada isteri, maka Allah memerintahkan para suami untuk tetap memberikan mahar kepada isteri.

Apabila para isteri mengizinkan bagi kalian (para suami) dengan ridha dan kerelaan, yaitu menggugurkan sebagian darinya, atau menunda, atau diganti dengan yang lain, maka tidak masalah bagi kalian (para suami).

Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa wanita mempunyai wewenang dalam pengelolaan terhadap hartanya -meskipun dengan menyedekahkannya- apabila ia sudah berpikir dewasa. Jika belum demikian (belum bisa bepikir secara dewasa, Pen.) maka pemberiannya tidak ada dampak hukumnya, dan bagi walinya, tidak ada hak sedikit pun atas mahar yang dimilikinya.[11]

Penegasan tentang terpeliharanya harta (dan darah serta kehormatan), juga telah disampaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam momen yang sangat istimewa, yaitu pada haji Wada'. Menjadikan kedudukan harta laksana kehormatan hari raya Idul Adh-ha, bulan Dzul Hijjah dan kota Mekkah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, pada asalnya, darah, harta dan kehormatan kaum Muslimin diharamkan untuk direbut oleh sebagian yang lain. Tidak halal, kecuali dengan izin Allah dan RasulNya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian, haram atas kalian seperti kehormatan hari ini, tempat ini dan di bulan ini". [HR al Bukhari, 1741, dan Muslim, 1679, dari Abu Bakrah].

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

"Setiap muslim terhadap muslim (lainnya) haram darahnya, hartanya dan kehormatannya". [HR Muslim dari Abu Hurairah].[12]

Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Bin Baz. Isi pertanyaannya : "Saya telah menikahi seorang guru. Apakah saya berhak mengambil dari gajinya dengan ridhanya untuk suatu kebutuhan dan keperluan berdua, misalnya membangun rumah?"

Beliau menjawab : Tidak masalah bagimu untuk mengambil gaji isterimu atas dasar ridhanya, jika ia seorang wanita rasyidah (berakal sehat). Begitu pula segala sesuatu yang ia berikan kepadamu untuk membantu dirimu, tidak masalah, bila engkau pergunakan. Dengan catatan, ia rela dan dewasa. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 4].[13]

Dia tidak boleh beranggapan hasil jerih-payah isteri bisa dipakai sesuka hatinya. Jika tidak, ia telah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah.

TOLERANSI DAN EMPATI ANTARA SUAMI ISTERI
Idealnya, antara suami dan isteri terjalin kasih-sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami dan isteri harus tetap terjaga.

Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik isteri. Begitu pun sebaliknya, isteri yang berpenghasilan, sementara suaminya masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyariatkan baginya untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ridha. Betapa indahnya, apabila seorang isteri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, isteri Ibnu Mas'ud, dan bertindak seperti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya.

Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'anhu dalam Shahihnya, ia berkata:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه : ...جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ

"Dari Abu Sa'id al Khudri : … Zainab, isteri Ibnu Mas'ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: "Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab," beliau bertanya,"Zainab yang mana?" Maka ada yang menjawab: "(Zainab) isteri Ibnu Mas'ud," beliau menjawab,"Baiklah. Izinkanlah dirinya," maka ia (Zainab) berkata: "Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku," Nabi bersabda,"Ibnu Mas'ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu." Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam menambahkan:

نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

"Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah."

Penempatan hadits di atas oleh al Bukhari dalam (Bab zakat terhadap kaum kerabat, bab zakat kepada suami dan anak-anak yatim yang berada dalam pengawasannya), menunjukkan hal itu mencakup zakat yang wajib maupun yang bersifat tathawwu' (sukarela). Mayoritas ulama berpendapat, zakat yang wajib tidak boleh diserahkan kepada orang yang nafkah hidupnya menjadi kewajiban muzakki (yang berkewajiban membayar zakat). Dan tidak ada keraguan lagi, bahwa nafkah suami bukan kewajiban isteri, maka ia boleh memberikan zakatnya kepada suaminya, tetapi tidak sebaliknya. Oleh karena itu, suami tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada isterinya. Adapun anak-anak, nafkah mereka menjadi tanggungan ayah mereka, bukan pada ibu mereka, selama sang ayah masih ada.

Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd mengatakan, pelajaran dari hadits di atas :
1). Diperbolehkan bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
2). Suami adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari isterinya dibandingkan dengan orang lain.
3). Isteri diperbolehkan bersedekah untuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak menjadi tanggungannya.
4). Sedekah isteri tersebut termasuk bentuk sedekah yang paling utama.[14]

Dalam masalah sedekah kepada suami, terdapat sebuah teladan monumental telah dipahat oleh Ummul Mukminin Khadijah. Yaitu beliau membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan jiwa, raga dan benda. Sungguh sebuah peranan yang besar seorang isteri bagi suaminya.

Oleh karena itu, layak untuk diperhatikan oleh seorang isteri. Bahwa isteri yang baik, mengelola uang dan harta milik pribadinya secara bijak, membelanjakan pada pos-pos yang bermanfaat bagi dirinya di dunia dan akhirat, tidak berbuat boros yang hanya akan mendatangkan kerugian baginya saja.

Wallahu a'lam. Washallallahu 'ala Muhammad wa 'ala Alihi wa Shahbihi ajma'in.

Referensi :
- Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, karya Dr. Muhammad bin Ya'qub ad Dahlawi, 'Imadah al Bahtsi al 'Ilmi Jami'ah Islamiyyah Madinah, Cet. I, Th. 1424 H.
- Fatawa al Mar`ah al Muslimah, susunan Abu Muhammad Asyraf bin 'Abdul Maqshud, Adhwau as Salaf, Riyadh, Cet. III, Th. 1417 H.
- Fiqhu al Islam Syarhu Bulugh al Maram, karya Abdl Qadir bin Syaibah al Hamd, tanpa tahun.
- Khuthabu wa Mawa'izhu min Hajjati al Wada`, Prof. Dr. 'Abdur Razaq bin 'Abdul Muhsin al Badr, Cet. I, Th. 1426 H.
- Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, karya 'Abdur Rahman as Sa'id, Dar al Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H, dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Khuthab wa Mawa'izh fi Hajjati al Wada`, hlm. 30-31.
[2]. Lebih lanjut tentang kewajiban nafkah atas suami beserta dalil-dalilnya, silahkan lihat di almanhaj http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0
[3]. Zaadul Ma'ad (5/448).
[4]. Al Jami'u li Ahkami al Qur`an, 5/17; al Mughni, 10/97. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 101.
[5]. Bada'iu ash Shanai', 2/288-289; al Fatawa al Hindiyah, 1/317; al Qawaninu al Fiqhiyah, hlm. 43; Mughni al Muhtaj, 3/222; Kasysyafu al Qanna', 5/140, dan seterusnya. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 102.
[6]. Syarhu Muntaha al Iradat, 3/68; Mughni al Muhtaj, 3/221; Hasyiatu ad Dasuqi 'ala asy Syarhi al Kabir, 2/2295. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 105.
[7]. Bada'iu ash Shanai', 2/288-289; al Fatawa al Hindiyah, 1/317; al Qawaninu al Fiqhiyah, hlm. 43; Mughni al Muhtaj, 3/222; Kasysyafu al Qanna', 5/140, dan seterusnya. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 102.
[8]. Pengertian uang disini bersifat umum, bisa berasal dari gaji, hasil pemberian, warisan atau lainnya, Pen.).
[9]. Fatawa al Mar'ah, hlm. 105. Kutipan dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 674-675.
[10]. Lihat Jami'u al Bayani 'an Ta`wili ayi al Qur`an, 2/303; Ahkami al Qur`an, karya Ibnul 'Arabi, 1/369; al Jami'u li Ahkami al Qur`an, karya al Qurthubi, 5/26. [11]. Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, hlm. 149.
[12]. Al Majmu' al Fatawa, 3/283. Dinukil dari Khuthab wa Mawa'izh fi Hajjati al Wada', hlm. 38.
[13]. Al Fatawa, Kitab ad Da'wah, 2/217. Dikutip dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 672-673.
[14]. Penjelasan hadits dan faidah-faidahnya diambil dari Fiqhul Islam Syarhu Bulughi al Maram, karya Syaikh 'Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd, 3/154-156.



Rabu, 20 Januari 2010

Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Maki Mereka 3/3

[F]. IJMA 'ULAMA TENTANG 'ADAALAH (KEADILAN0 SEMUA SHAHABAT RASULULLAH.

Al-Khatib Al-Baghdadi (beliau lahir th 392 wafat th 463) beliau berkata :"Para shahabat adalah orang-orang yang kuat imannya, bersih aqidahnya dan mereka lebih baik dari semua orang yang adil dan orang-orang yang mengeluarkan zakat yang datang sesudah mereka selama-lamanya. Ini merupakan pendapat semua Ulama". [13]

Ibnu Abdil Barr (363-463H) berkata :"Para shahabat tidak perlu kita periksa (keadilan) mereka, karena sudah ijma' Ahlul Haq dari kaum muslimin yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa mereka semua Adil". [14]

Ibnu Hazm (384-456H) berkata :"Semua shahabat adalah 'adil, utama diridhai, maka wajib atas kita memulyakan mereka, menghormati mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan mencintai mereka". [15]
Ibnu Katsir (701-774H) berkata ;"Semua shahabat adalah 'adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka di dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pun memuji prilaku dan ahlak mereka. Mereka telah mengorbankan harta dan jiwa mereka di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka mengharap ganjaran yang baik (dari Allah)" [16]

Sebenarnya masih banyak lagi pujian dan sanjungan para Ulama tentang 'adalah (keadilan) shahabat, tetapi apa yang sudah disebutkan sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi orang yang punya bashirah.

[G]. SIKAP PARA ULAMA TENTANG PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA PARA SHAHABAT.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (661-728H) menerangkan dalam Fatawa-nya :"Kami menahan tentang apa-apa yang terjadi diantara mereka dan kami mengetahui bahwa sebagian cerita-cerita yang sampai kepada kami tentang (kejelekan) mereka (semuanya) adalah dusta. Mereka (para shahabat) adalah mujtahid, jika mereka benar maka mereka akan dapat dua ganjaran dan akan diberi pahala atas amal shalih mereka, serta akan diampuni dosa-dosa mereka. Adapun jika ada pada mereka kesalahan-kesalahan sungguh kebaikan dari Allah telah mereka peroleh maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa mereka dengan taubat mereka atau dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka atau dengan yang lainnya. Sesungguhnya mereka adalah sebaik-baik umat dan sebaik-baik masa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". [17]

Kata Ibnu Katsir :"Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ada yang terjadi secara tidak sengaja seperti Perang Jamal (antara Ali dengan 'Aisyah) dan adapula yang terjadi berdasar ijtihad seperti Perang Shiffin (antara Ali dengan Mua'wiyah). Ijtihad terkadang benar dan terkadang salah, akan tetapi (bila salah) pelakunya akan diampuni Allah dan akan dapat ganjaran kendatipun ia salah. Adapun jika ia benar ia akan dapat dua ganjaran. Dalam hal ini Ali dan para shahabatnya lebih mendekati kepada kebenaran daripada Mu'awiyah mudah-mudahan Allah meridhai mereka semuanya (Ali, 'Aisyah, Muawiyah dan para shahabat mereka)".[18]

Meskipun perselisihan yang terjadi diantara para shahabat sempat membawa korban jiwa, yakni ada diantara mereka yang gugur, tetapi mereka segera bertaubat karena mereka adalah orang-orang yang selalu bertaubat kepada Allah dan Allah-pun menjanjikan taubat atas mereka. Allah berfirman.
"Artinya : Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [At-Taubah : 102].

[H]. PARA SHAHABAT TIDAK MA'SHUM.

Sesungguhnya persaksian Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat tentang hakikat iman mereka dan keridhaan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka tidaklah menunjukkan bahwa mereka ma'shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) atau mereka bersih dari ketergelinciran, karena mereka bukan Malaikat dan bukan pula para Nabi. Bahkan pernah diantara mereka segera istighfar dan taubat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Setiap anak Adam bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat". [Hadits Hasan Riwayat Ahmad 3: 198, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim 4:244. Shahih Jami'us Shagir 4391, Takhrijul Misykat No. 2431].
Abu Bakar Ibnul 'Arabi berkata :"Dosa-dosa (yang dilakukan para shahabat) tidaklah menggugurkan 'adalah (keadilan), apabila sudah ada taubat". [19].

Kita yakin seyakin-yakinnya bahwa para shahabat yang pernah bersalah semuanya bertaubat kepada Allah dan mereka tidak bisa dikatakan nifaq atau kufur. Semua ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah sepakat bahwa para shahabat yang ikut serta dalam persengketaan, ikut dalam perang Jamal dan perang Shiffin, mereka adalah orang-orang yang beriman dan adil. Dan kesalahan mereka yang bersifat individu dan berjama'ah tidak menggugurkan pujian Allah atas mereka.

Abu Ja'far Muhammad bin Ali Al-Husain ketika ditanya tentang orang-orang (para shahabat) yang ikut serta dalam perang Jamal ia menjawab :"Mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang tetap dalam keimanan dan mereka bukan orang-orang kafir". [20]

Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud, mereka berkata :"Ali bin Abi Thalib menyalatkan jenazah para shahabat yang memihak Mu'wiyah". [21]

[I]. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG ORANG-ORANG YANG MENCACI MAKI/MENGHINA PARA SHAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.

Imam Malik berkata ;"Orang-orang yang membenci para Shahabat Rasulullah adalah orang-orang kafir". [Tafsir Ibnu Katsir V hal. 367-368) atau IV hal. 216 cet. Daarus Salam Riyadh.]

Al-Qadhi 'Iyaadh berkata :"Jumhur Ulama berpendapat bahwa orang yang menghina/mencaci maki para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam harus dihukum ta'ziir (yakni harus didera menurut kebijaksanaan hakim Islam -pen)". [Fathul Bari VII hal. 36].

Kata Imam Abu Zur'ah Ar-Raazi (wafat th 264H):"Apabila engkau melihat seseorang mencaci maki/menghina seseorang dari shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa orang itu adalah Zindiq (kafir). Yang demikian karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah haq, Al-Qur'an adalah haq dan apa-apa yang dibawa adalah haq dan yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka (orang-orang zindiq) itu mencela kesaksian kita agar bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah (yakni agar kita tidak percaya kepada Al-Qur'an dan Sunnah -pen). Merekalah yang pantas mendapat celaan". [22]

Imam Al--Hafizh Syamsuddin Muhammad 'Utsman Adz-Dzahabi yang lebih dikenal dengan Imam Adz-Dzahabi (673-747H) berkata :"Barangsiapa yang mencaci mereka (para shahabat) menghina mereka, maka sesungguhnya ia telah keluar dari agama Islam dan telah merusak kaum muslimin. Mereka yang mencaci adalah orang yang dengki dan ingkar kepada pujian Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan juga mengingkari Rasulullah yang memuji mereka dengan keutamaan, tingkatan dan cinta ... Memaki mereka berarti memaki pokok pembawa syari'at (yakni Rasulullah). Mencela pembawa Syari'at berarti mencela kepada apa yang dibawanya (yaitu Al-Qur'an dan Sunnah)". [23]

[J]. KHATIMAH.

Apa yang telah saya terangkan dari Al-Qur'an dan Sunnah kiranya sudah cukup jelas, lebih-lebih lagi dikuatkan dengan pendapat Jumhur Ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Oleh karena itu sikap kaum Mu'minim terhadap mereka (para shahabat) adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, yaitu :

[a]. Mereka sebaik-baik ummat.
[b]. Kita diwajibkan mengikuti jejak langkah mereka dengan baik [At-Taubah : 100] dan tidak boleh menyimpang dari jalan mereka [An-Nisaa' : 15] dan berpegang kepada Sunnah Rasul dan Khulafaur Rasyidin.
[c]. Semua Shahabat adalah adil
[d].Kita tidak berkeyakinan bahwa para Shahabat ma'shum, karena tidak seorangpun yang ma'shum selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kita ridha kepada mereka dan kita mohonkan untuk mereka ampunan dan kita menahan dari apa yang terjadi di antara mereka [Al-Hasyr : 10].

[K]. KESIMPULAN.

Golongan Orientalis, Yahudi dan Syi'ah adalah golongan yang paling banyak mencaci dan menghina para Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Aqidah Syi'ah yang menyatakan para Shahabat tidak adil, bahkan mereka mengkafirkan, mereka adalah orang yang sesat dan menyesatkan dan orang-orangnya dinyatakan kafir. [24]

Hukum mencaci/menghina para Shahabat adalah haram dan pelakunya akan dilaknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia. Sabda Nabi :"Barangsiapa mencela shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia". [Hadist Riwayat Thabrani]

Orang Munafiq dan Murtad dan mati dalam keadaan demikian mereka adalah termasuk golongan kafir dan tidak termasuk Shahabat meskipun berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Semua shahabat adalah adil dan tetap dikatakan orang-orang yang beriman, meskipun mereka berselisih [Al-Hujuraat 9-10].

Sebesar apapun infaq yang kita keluarkan di jalan Allah tidak akan dapat menyamai derajat seorang shahabat Rasulullah. Kita wajib mencintai para shahabat. Kita seharusnya mendo'akan orang-orang yang terlebih dahulu beriman dari pada kita :

"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman ; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al-Hasyr : 10]


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/ThI/1415-1995]
_________
Foote Note
[13]. Al-Kifayah fi 'Ilmir-Riwayah hal. 49; Tanbih Dzawin Najabahilla 'Adaalatis Shahabah oleh Qurasy bin Umar bin Ahmad hal. 23
[14]. Al-Iti'ab fi Ma'rifati Ashab Juz I hal. 9 cet. Daarul Fikr 1398H
[15]. Ushulul Hadits hal. 386 dinukil dari Al-Ihkam fil Ushulil-Ahkam
[16]. Al-Baitsul-Hatsits fi Ikhtishar Ulumil Hadits hal.154
[17]. Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jilid III hal. 406
[18]. Al-Ba'itsul Hatsits syarah Ikhtisar Ulumil hadits hal. 154
[19]. Al-'Awashin minal Qawashim tahqiq Syaikh Muhibudin Al-Khatib hal. 94 Daarul Mathba'ah Salafiayh cet V Cairo.
[20]. Ushulul -Itiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah oleh Imam Al-Lalikai, tahqiq DR Ahmad Sa'ad Hamdan jilid V & VI hal 1059-1060 cet. Daar Thayyibah-Riyadh
[21]. Idem
[22]. Al-Awashim minal Qawashim hal. 34
[23]. Al-Khabair Adz-Dahabi, tahqiq Abu Khalid Al-husain bin Muhammad as-Sa'idl hal. 352-353 Daarul Fikr th 1408H cet. I
[24]. Limaza Kafaral 'ulama Al-Khumaini oleh Wajih Al-Madini cet. cairo I 1408H; Aqaidus Syi'ah fil Mizan oleh Dr Muhammad Kamil Al-Hasyimi cet I, th 1409


Sumber

Selasa, 19 Januari 2010

Kewajiban Mengikuti Cara Beragamanya Sahabat 1/2

Oleh
Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]



Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [An-Nisa’ : 115]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya orang-orang mu’min” (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).

Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti “jalannya orang-orang mu’min” yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.

Jika dikatakan : Kenapa “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” diayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu’min??

Saya jawab berdasarkan istinbath (pengambilan;penggalian) dari ayat di atas:

Pertama:
Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu’min di permukaan bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.

Kedua
Mahfumnya, bahwa orang-orang mu’min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu’min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.

Ketiga
Kalau orang-orang mu’min di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang mu’min manakah? Apakah mu’minnya Khawarij atau Syiah/Rafhidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau….atau…?

Keempat
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.

Kelima
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. [Muhammad : 16]

Keenam
Perjalanan orang-orang mu’min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.

Ketujuh
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.

Kedelapan
Perjalanan orang-orang mu’min yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma’ kecuali para sahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara mereka. Demikian itu juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mu’min”.

Kesembilan
Perjalanan orang-orang mu’min yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.

Kesepuluh
Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka.[Bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]

Kesebelas
Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. [Bacalah I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]

Keduabelas
Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka [Al-Baqarah :13]

Ketigabelas
Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.

Keempat belas
Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merekapun ridha kepada Allah [At-Taubah :100]

Kelima belas
Perjalanan para sahabat telah menjadi dasar, bahwa Allah akan meridhai perjalannnya orang-orang mu’min dengan syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat”. Mahfumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin dan Al-Anshar [At-Taubah :100]

Keenam belas
Sebaik-baiknya sahabat para nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.

Ketujuh belas
Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir. [Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath :29]

Kedelapan belas
Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik. [Al-Baqarah : 13].


[Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi:02/V/1421-2001M, hal 51-53]

Sumber

105 Ribu Orang Hadiri Tabligh Akbar Bersama Prof.Dr.Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr


Seperti janji saya untuk memposting dari Tabligh Akbar yang diisi oleh Prof.Dr.Abdur Rozzaq Bin Abdul Muhsin Al-Badr, dengan Tema Asbabu Sya'adah ( Sebab - sebab Datangnya Kebahagiaan ) pada tgl. 17 Januari 2010 kemarin. 


Bercerita sedikit tentang bigrafi Syaikh, Syaikh hafizhahullah merupakan Dosen Ilmu ‘Aqidah Pasca Sarjana di Fakultas Aqidah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah Tabligh Akbar ini dihadiri oleh sekitar 30.000 jama’ah dari seluruh Indonesia. (pernyataan dari penyiar radio rodja yang ada di Istiqlal)


Update: Ternyata jama’ah yang hadir sekitar 105 ribu orang lihat di 105 Ribu Orang disini saya postingnya tidak ditulis melainkan melalui player, sehingga antum bisa mendengar sambil melakukan kegiatan lain pada komputer antum, tetapi tetap telinga konsentrasi pada dawah ya...




Selamat Mendengarkan..semoga antum semua berbahgia setelah mendengarkan kajian ini...

Senin, 18 Januari 2010

Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Maki Mereka 2/3

[D]. MAKNA 'ADALATUS SHAHABAH

[1]. Menurut Bahasa.
Adalah atau 'Adl lawan dari Jaur artinya kejahatan. Rojulun 'Adl maksudnya : seseorang dikatakan adil yakni seseorang itu diridhai dan diberi kesaksiannya. [Lihat Kamus Muktarus-Shihah hal. 417 cet. Darul Fikr].

[2]. Menurut Istilah Ahli Hadits.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : "Yang dimaksud dengan adil ialah orang yang mempunyai sifat ketaqwaan dan muru'ah". [Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar hal. 29 cet. Maktabat Thayibah tahun 1404H].

[3]. Penjelasan Istilah Ahli Hadits.
Maksud 'Adalatus Shahabah ialah :"Bahwa semua shahabat ialah orang-orang yang taqwa dan wara, yakni mereka adalah orang-orang yang selalu menjauhkan maksiat dan perkara-perkara yang syubhat. Para shahabat tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau menyandarkan sesuatu yang tidak sah dari beliau". Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :"Dengan menyelidiki (semua keterangan) maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa semua shahabat berkeyakinan bahwasanya berdusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebesar-besar dosa, maka mereka menjaga sungguh-sungguh agar tidak terjatuh dalam berdusta atas nama beliau". [7]

Al-Khatib Al-Baghdadi berkata
:"Semua hadits yang bersambung sanadnya dari orang-orang yang meriwayatkan sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak boleh diamalkan kecuali kalau sudah diperiksa keadilan rawi-rawinya serta wajib memeriksa biografi mereka dan dikecualikan dari mereka adalah shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena 'Adalah (keadilan) mereka sudah pasti dan sudah diketahui dengan pujian Allah atas mereka. Allah memberitakan tentang bersihnya mereka dan Allah memilih mereka (sebagai penolong Rasul-Nya) berdasarkan nash Al-Qur'an". [8]

Imam Syairaji berkata dalam Tabshirah fi Ushulil-Fiqh hal. 329 :"Semua shahabat sudah tetap keadilannya, maka tidak perlu lagi diperiksa tentang keadaan mereka". [9].

[E]. DALIL-DALIL TENTANG KEADILAN SHAHABAT DARI AL-QUR'AN DAN SUNNAH.

[1]. Allah Berfirman.

"Artinya : Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang munkar dan kalian beriman kepada Allah". [Ali-Imran : 110].

"Artinya : Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan". [Al-Baqarah : 143]

[2]. Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam Menjelaskan Bahwa Para Shahabat Dan Umat Islam Yang Mengikuti Jejak Mereka Adalah orang-orang yang adil.

Sebagaimana sabda beliau.

"Artinya : Dari Abu Sa'id Al-Khudri adalah ia berkata :"Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Nuh akan dipanggil pada hari kiamat. Lalu ia jawab :"Aku penuhi panggilan-Mu dan Maha Bahagia nama-Mu wahai Rabb-ku". Allah bertanya :"Apakah sudah engkau sampaikan (dakwah/risalah) ?". Ia berkata :"Ya sudah". Lalu umatnya di tanya ;"Apakah ia sudah menyampaikan (risalah) kepada kalian ?." Mereka berkata :"Tidak pernah ada pengancam (Da'i) yang datang kepada kami ?! Allah bertanya lagi pada Nuh 'Alaihi sallam :"Siapakah yang akan menjadi saksi bagimu (bahwa kamu sudah menyampaikan risalah)?" Ia (Nuh) jawab :"Muhammad dan umatnya". Kemudian ia menjadi saksi bahwa ia telah menyampaikan risalah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi saksi atas kalian. Demikianlah Allah berfirman :"Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi saksi atas (perbuatan) kalian". Wasath dalam ayat ini bermakna adil.[Hadits Shahih Riwayat Bukhari/Fathul Bari 8 : 171-172 No. 4487].

[3].Allah Meridhai Mereka (Para Shahabat Dari Muhajirin Dan Anshar) Dan Orang-Orang Yang Mengikuti Jejak Mereka Dengan Baik.

"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalirkan sungai-sungai didalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". [At-Taubah : 100].

"Artinya : Sesungghnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika mereka berjanji setia kepada mu (Muhammad) di bawah pohon". [Al-Fath : 18].

"Artinya : Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersama beliau adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka ; kalian lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya ...". [Al-Fath : 29]

[4]. Sifat-Sifat Para Shahabat Yang Disebutkan Dalam Al-Qur'an Adalah :

[a]. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman [Al-Anfaal : 74].
[b]. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus [Al-Hujuraat : 7]
[c]. Mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan [At-Taubah : 20]
[d]. Mereka adalah orang-orang yang benar [At-Taubah : 119]
[e]. Mereka adalah orang-orang yang bertaqwa [Al-Fath : 26]
[f]. Mereka adalah orang-orang yang menjengkelkan orang-orang kafir dan mereka benci kepada kekafiran [Al-Fath : 29]
[g]. Dan sifat-sifat lainnya yang termasuk dalam Al-Qur'an.

[5]. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Bersabda.

"Artinya : Sebaik-baik manusia adalah zamanku ini, kemudian yang sesudah itu, kemudian yang sesudah itu, kemudian nanti akan ada satu kaum dimana persaksian seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya itu mendahului persaksiannya". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4:189, Muslim 7:184-185, Ahmad 1:378,417,434,442 dan lain-lain].

[6]. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Bersabda.

"Artinya :Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir".
Kata Ibnu Hibban :"Hadits ini sebesar-besar dalil yang menunjukkan bahwa semua shahabat adil dan tidak satupun diantara mereka yang tercela dan lemah. [Al-Jarh wat Ta'dil oleh Abi Lubabah ; Ibnu Hibban 1:123].

"Artinya : Ibnu Abbas berkata : 'Janganlah kalian mencaci maki atau menghina para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya kedudukan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah sesaat (sejam) itu lebih baik dari amal seorang dari kalian selama 40 (empat puluh) tahun". [Hadits Riwayat Ibnu Batthah dengan sanad yang shahih] [10]

"Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tidak akan masuk neraka seorang-pun dari orang-orang yang berba'iat di bawah pohon (di Hudaibiyyah)". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Muslim].

"Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak akan masuk neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyyah". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad III:396 dari Jabir].

Penjelasan :
Ayat-ayat dan hadits-hadits diatas menunjukan dengan jelas bahwa para shahabat Ridwanullahi 'alaihim ajmain adalah orang-orang yang telah mendapat pujian dan sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya, mereka mempunyai jasa yang besar bagi Islam dan kum Muslimin.

Islam yang diterima oleh kaum Muslimin sampai hari Kiamat adalah berkaitan dengan pengorbanan para shahabat yang ikut serta dalam perang Badar dan perang-perang lainnya demi tegaknya agama Islam. Karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan umat Islam bahwa apa yang mereka infaq-kan dan belanjakan fii-sabilillah belumlah dapat menyamai derajat para Shahabat, meskipun umat Islam ini berinfaq sebesar gunung Uhud berupa emas atau barang-barang berharga lainnya.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata tentang Shahabat-shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :"Tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menyamai mereka. Mereka siang hari bergelimang pasir dan debu (di medan perang), sedang di malam hari mereka banyak berdiri, ruku' dan sujud (beribadah kepada Allah) silih berganti, tampak kegesitan dari wajah-wajah mereka, seolah-olah mereka berpijak di bara api bila mereka ingat akan hari pembalasan (Akhirat), tampak bekas sujud di dahi mereka, bila mereka Dzikrullah berlinang air mata mereka sampai membasahi baju mereka, mereka condong laksana condongnya pohon dihembus angin yang lembut karena takut akan siksa Allah, serta mereka mengharapkan pahala dan ganjaran dari Allah". [11] Kemudian beliau berkata lagi :"Mereka adalah shahabat-shabatku yang telah pergi, pantas kita merindukan mereka dan bersedih karena kepergian mereka" [12]


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/ThI/1415-1995]
________
Fote Note.
[7].Tadribur-Rawi 2 hal. 215
[8]. Al-Kifayah fi 'Ilmir-Riwayah hal.93
[9]. 'Umul Hadits hal. 329, Libni Shalah ; Mudzakirah Ushulil-Fiqhlis-Syahqithi hal. 126
[10]. Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 469 hal, Takhrij Syaikh Al-Albani
[11]. Najhul Balaghah yang di tahqiq oleh Dr. Shubhi Shaleh cet. Daarul Kutub Al-Lubnani (Beirut) hal. 143,177,178 dinukil dari Shuratani Mutadhatani, Tarjamah Bey Arifin hal. 16-17
[12]. Ibid



Sumber

Minggu, 17 Januari 2010

Semua Sahabat Rasulullah Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Maki Mereka 1/3

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]



[A].TAQDIM

Para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang telah mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk menegakkan Islam dan mendakwahkannya keberbagai pelosok negeri, sehingga kita dapat merasakan ni'matnya iman dan Islam.

Perjuangan mereka dalam li'ila-i kalimatillah telah banyak menelan harta dan jiwa. Mereka adalah manusia yang sepenuhnya tunduk kepada Islam, benar-benar membela kepentingan umat Islam, setia kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa kompromi, mereka tunduk kepada hukum-hukum agama Allah, tujuan mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan Sorga-Nya.

Model dan corak kehidupan masyarakat Islam terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari, model masyarakat Islam seperti yang tercermin dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah benar-benar dipraktekkan oleh mereka dan hal yang seperti ini belum pernah kita jumpai dalam sejarah umat sejak dulu sampai hari ini. Hidup mereka dilandasi Iman, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka selalu berjalan dalam prinsip-prinsip yang telah digariskan Allah.

Persoalan 'Adalatus Shahabah (Keadilan Shahabat) sudah diyakini oleh umat Islam dari masa Shahabat sampai hari ini, bahwa merekalah orang-orang yang adil dan benar. Tetapi dalam rangkaian sejarah yang panjang ada saja kelompok yang selalu merongrong eksitensi perjuangan mereka bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kelompok/golongan ini mengaku diri mereka "Islam" ? Mereka lebih terkenal dengan nama "kelompok Syi'ah atau agama Syi'ah" karena aqidah mereka berbeda dengan aqidah kaum muslimin. Agama Syi'ah yang dianut sekarang ini adalah Agama Syi'ah Immamiyah Itsna 'Asy'ariyah. Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asy'ariyah sejak dulu sampai hari ini telah sepakat mengkafirkan ketiga Khulafa'ur Rasyidin (mengecualikan Ali bin Abi Thalib) dan semua shahabat sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali 3 atau 4 shahabat.

Semua buku-buku mereka dipenuhi dengan caci makian, penghinaan, dan laknat kepada Khulafa'ur Rasyidin dan shahabat-shahabat yang lainnya. Di dalam kitab Al-Furu'ul Kaafi jilid 3 fatsal Kitabur Raudhah hal.115 karangan Al-Kulaini disebutkan : Bahwa ada seorang murid Muhammad Al-Baqir bertanya tentang Abu Bakar dan Umar. Lalu ia jawab : "Tidak ada seorangpun yang mati dari kalangan kami (Syi'ah) melainkan benci dan murka kepada Abu Bakar dan Umar". Bahkan Khumaini dalam kitabnya Kasyful Asrar hal. 113-114 (cet. Persia) menuduh para shahabat kafir. Wal-'Iyaadzu billah. [1]

Pengikut agama Syi'ah di Indonesia yang terdiri dari cendikiawan, mahasiswa dan orang-orang awam berusaha mencari-cari kesalahan individu dan meragukan 'adalah (keadilan) mereka para shahabat, untuk menguatkan aqidah mereka yang rusak tentang shahabat dan tujuannya untuk merusak Agama Islam, karena bila shahabat sudah dicela maka otomatis Al-Qur'an dan Sunnah dicela, karena merekalah (shahabat) yang pertama kali menerima risalah Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Pengikut agama Syi'ah berusaha agar Islam ini hancur.

Membicarakan sikap dan kedudukan shahabat dan mengkritiknya berarti mengkritik Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Meragukan keadilan mereka berarti meragukan kesaksian Allah dan pujian Allah serta pujian Rasulnya terhadap mereka.

Orang-orang Syi'ah mengkritik para shahabat dengan menggunakan portongan-potongan ayat Qur'an dan hadits Nabi untuk kepentingan hawa nafsu mereka, dan meninggalkan puluhan ayat dan ratusan hadits Nabi yang shahih yang memuji keadilan shahabat.

Standar nilai dan tolok ukur prilaku mereka yang tepat adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebagai penguat adalah pendapat Jumhur Ulama kaum Muslimin.

Oleh karena itu penulis akan paparkan nash-nash tentang 'adalah shahabat.

[B]. DIFINISI SHAHABAT

[1]. Menurut Lughah [Bahasa].
Shahabi diambil dari kata-kata Shahabat = Persahabatan, dan bukan diambil dari ukuran tertentu yakni harus lama bersahabat, hal ini tidak demikian, bahkan persahabatan ini berlaku untuk setiap orang yang menemani orang lain sebentar atau lama. Maka dapat dikatakan seseorang menemani si fulan dalam satu masa, setahun, sebulan, sehari atau sejam. Jadi persahabatan bisa saja sebentar atau lama. Abu Bakar Al-Baqilani (338-403H) berkata : "Berdasarkan defenisi bahasa ini, maka wajib berlaku difinisi ini terhadap orang yang bersahabat dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kendatipun hanya sejam di siang hari. Inilah asal kata dari kalimat Shahabat ini". [2]

[2]. Menurut Istilah Ulama Ahli Hadits.
Kata Ibnu Katsir : "Shahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun waktu bertemu dengan beliau tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadits pun dari beliau".

Kata Ibnu Katsir :" Ini pendapat Jumhur Ulama Salaf dan Khalaf (=Ulama terdahulu dan belakangan)". [3]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani melengkapi definisi Ibnu Katsir, ia Berkata :"Definisi yang paling shahih tentang Shahabat yang telah aku teliti ialah : "Orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam". Masuk dalam difinisi ini ialah orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam baik lama atau sebentar, baik meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak, baik ikut berperang bersama beliau atau tidak. Demikian juga orang yang pernah melihat beliau sekalipun tidak duduk dalam majelis beliau, atau orang yang tidak pernah melihat beliau karena buta. Masuk dalam definisi ini orang yang beriman lalu murtad kemudian kembali lagi kedalam Islam dan wafat dalam keadaan Islam seperti Asy'ats bin Qais.

Kemudian yang tidak termasuk dari definisi shahabat ialah :

[a]. Orang yang bertemu beliau dalam keadaan kafir meskipun dia masuk Islam sesudah itu (yakni sesudah wafat beliau).
[b]. Orang yang beriman kepada Nabi Isa dari ahli kitab sebelum diutus Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelah diutusnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dia tidak beriman kepada beliau.
[c]. Orang yang beriman kepada beliau kemudian murtad dan wafat dalam keadaan murtad. Wal'iyaadzu billah. [4]

Keluar pula dari definisi shahabat ialah orang-orang munafik meskipun mereka bergaul dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah dan Rasul-Nya mencela orang-orang munafik, dan nifaq lawan dari iman, dan Allah memasukkan orang munafik tergolong orang-orang yang sesat kafir dan ahli neraka [Lihat : Al-Qur'an surat An-Nisaa : 137,138,141,142,143,145. Juga surat Ali Imran : 8 - 20].

Sistim mu'amalah yang diterapkan oleh Rasulullah dan para shahabat dalam bergaul dengan orang-orang munafiqin jelas menunjukan bahwa shahabat bukanlah munafiqin dan munafiqin bukanlah shahabat. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa diantara shahabat ada yang munafik !!! Ayat-ayat Al-Qur'an dengan jelas membedakan mereka :

Allah menyuruh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi orang-orang kafir dan munafiq [At-Taubah:73, At-Tahriim:9], sedangkan kepada orang-orang yang beriman , Allah menyuruh beliau menyayangi mereka [Asy-Syu'araa' :215, Al-Fath:29].

Orang-orang munafiq tidak mendapat ampunan dari Allah [At-Taubah:80, Al-Munafiquun:6], sedangkan orang-orang beriman mendapatkan ampunan dari Allah [Muhammad:19].

Nabi, para shahabat dan orang-orang yang beriman dilarang menyalatkan mayat munafiqin [At-Taubah:84] sedangkan mayat orang yang beriman wajib di shalatkan sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Dan ayat-ayat lain serta hadits yang membedakan mereka.

[3]. Pendapat Ulama Tentang Definisi Shahabat.
Definisi yang diberikan oleh Ibnu Hajar merupakan definisi Jumhur Ulama di antara mereka ialah Imam Bukhari, Imam Ahmad, Imam Madini, Al'iraqi, Al-Khatib, Al-Baghdadi, Suyuti dll. Ibnu Hajar berkata : Inilah pendapat yang paling kuat. Di antara ahli Ushul Fiqih yang berpendapat demikian Ibnul Hajib, Al-Amidi dan lain-lain. [5]

[D]. BAGAIMANA BISA DIKETAHUI SESEORANG ITU DIKATAKAN SHAHABAT ?

Kita dapat mengetahui seseorang itu dikatakan shahabat dengan :
[a]. Kabar Mutawatir seperti Khulafaur Rasyidin dan 10 orang ahli surga.
[b]. Kabar yang masyhur yang hampir mencapai derajat mutawatir seperti Dhamam bin Tsa'labah dan 'Ukkaasyah bin Mihsan.
[c]. Dikabarkan oleh seorang shahabat lain atau oleh Tabi'i Tsiqat (terpercaya) bahwa si fulan itu seorang shahabat, seperti Hamamah bin Abi Hamamah Ad-Dausiy wafat di Ashfahan. Abu Musa Al-Asy'ari menyaksikan bahwa ia (Hamamah) mendengar hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
[d].Seseorang memberitakan tentang dirinya bahwa ia adalah seorang shahabat Rasulullah dan dimungkinkan bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan menurut pemeriksaan ahli hadits bahwa ia memang seorang yang adil dan wafatnya tidak melebihi tahun 110H. [6].


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/ThI/1415-1995]
_________
Foote Note.
[1]. Lihat Shurtani Mutadhodataani oleh Abul Hasan All Al-Hasani An-Nadwi : Aqaidus Syi'ah fii Miizan hal. 85-87 oleh DR Muhammad Kamil Al-Hasyim cet. I th, 1409H/1988M
[2]. Lihat Lisanul "Arab II:7; Al-Kilayat fi 'Ilmir Riwayah hal.51 oleh Al-Khathib Al-Baghdadi ; As-Sunnah Qablat-Tadwin hal. 387.
[3]. Al-Baa'itsul Hatsits Syarah Ikhtisar 'Uluumil-Hadits Lil-Hafizh Ibnu Katsir oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir hal. 151 cet. Darut turats Th. 1399H/1979M.
[4]. Al-Ishabah fil Tanyizis-Shahabah I hal. 7-8 cet. Daarul-fikr 1398H.
[5]. Lihat Fathul Mughits 3/93-95, 'Ulumul-Hadits oleh Ibnu Shaleh hal. 146 ; At-Taqyid wal-idah Al-'Iraqi hal. 292 Alfiyah Suyuti hal. 57; Fathul Bari 7/3;Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam Lil-Amidi:83; Tanbih Dzawi Najabah ila 'Adalatis Shahabah hal. 11.
[6]. Lihat Tadribur-Rawi 2:213 oleh Imam Suyuthi cet. Daarul Maktabah ilmiyah 1399H/1979M ; Fathul-Mughits 3:140 Ushulul-Hadits 405-406.


ARIEF