Pun dengan Rasulullah Muhammad saw yang tidak lain adalah sebagai pem-bawa risalah dari Allah swt. Beliau menuntun ummatnya untuk senantiasa taqwa kepada Allah dengan memperbanyak amal ibadah. Sebagai nabi, beliau hanya menyampaikan dan menjelaskan tata cara ibadah yang mesti dilakukan oleh umatnya, dan beliau sama sekali tidak membuat ibadah apapun.
Semua ajaran Islam dan praktik iba-dah yang terkandung di dalamnya, ha-ruslah berasal dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah saw yang shahih. Adapun penyimpangan-pe-nyimpangan yang kini terjadi, biasa terjadi akibat salah dalam mengambil dasar hukum sebagai pijakan. Terse-barnya hadits-hadits palsu maupun le-mah, menjadi salah satu kontributor meluasnya praktik-praktik bid’ah. Tidak sedikit dari kaum muslimin yang ‘ter-tipu’ dengan hadits-hadits palsu mau-pun lemah dan beramal dengannya.
Berikut adalah beberapa hadits pal-su dan lemah yang cukup populer di kalangan kaum muslimin; serta menjadi dalil-dalil umum yang kaum muslimin berhujah dengannya:
“Tidurnya orang puasa merupakan iba-dah, diamnya merupakan tasbih, amal-nya dilipatgandakan (pahalanya), doa-nya dikabulkan dan dosanya diampuni.” (HR. Baihaqi dan ad-Dailami dalam Kitab Syu’abul Iman)
Walaupun kandungan atau isi hadits tersebut terdapat hal-hal yang memang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw, yaitu tersebut dalam beberapa hadits shahih, seperti diampunkannya dosa-dosa serta dilipatgandakannya amalan-amalan baik, namun para ulama hadits sepakat bahwa hadits ini adalah hadits palsu.
Meski ada beberapa ulama, seperti as-Suyuti dan al-Albani yang mengatakan bahwa derajat hadits ini dhaif (lemah).
“Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai sunnat. Barangsiapa mendekatkan diri di dalam-nya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya… Dialah bulan yang awalnya itu rahmat, pertengahannya itu maghfirah/ampunan, dan akhirnya itu ‘itqun minan naar/be-bas dari neraka…(hingga akhir hadits)”
Hadits yang cukup panjang ini diriwayatkan oleh al-’Uqaili dalam kitab khusus tentang hadits dha’if yang berjudul adh-Dhu’afa’. Juga diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikhu Baghdad. Serta diriwayatkan juga oleh Ibnu Adiy, ad-Dailami, dan Ibnu Asakir.
Berikut adalah beberapa komentar para ulama hadits mengenai hadits ini: Ibnu Sa’ad berkata, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya.” Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tidak kuat.” Ibnu Ma’in berkata, “Dha’if.” Ibnu Abi Khaitsamah berkata, “Lemah di segala segi”, Ibnu Khuzaimah berkata, “Jangan berhujjah dengan hadits ini karena jelek hafalannya.”
Menurut Syaikh Muhammad Nashi-ruddin al-Albani, hadits ini nilainya munkar, yaitu hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi (periwayat hadits) yang hafalannya diragukan serta tergolong suka bermaksiat. Hadits munkar adalah termasuk hadits yang dikategorikan sangat lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Sumber kelemahan hadits ini adalah adanya dua orang rawi dalam sanadnya, masing-masing bernama Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al-Shalt. Menurut kritikus hadits Ibnu Adi, Sallam bin Sawwar adalah munkar al-hadits (orang yang riwayat haditsnya tertolak), Sedangkan Maslamah bin al-Shalt adalah matruk (yang berarti riwayat haditsnya ditolak). Baik munkar ataupun matruk, kedua-duanya tidak bisa dijadikan dalil dalam beramal.
“Seandainya hamba-hamba tahu apa yang ada di bulan Ramadhan pasti ummatku akan berangan-angan agar Ramadhan itu jadi satu tahun seluruhnya, sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya….” hadits ini panjang.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Kitabul Maudhu’at (Kitab tentang Hadits-hadits palsu, 2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada al-Muthalibul Aaliyah (Bab A-B/ manuskrip) dari ja-lan Jabir bin Burdah, dari Abi Mas’ud Al-Ghifari.
Hadits ini maudhu’ (palsu), cacat-nya pada Jabir bin Ayyub, riwayat hi-dupnya dinukil Ibnu Hajar dalam Li-sanul Mizan (2/101) dan (beliau) berkata: “Terkenal dengan kelemahan (dha-’if)” beliau juga menukil ucapan Abu Nu’aim tentangnya: “Dia itu suka me-malsukan hadits.” Al-Bukhari juga ber-kata, “Haditsnya tertolak”, dan menurut an-Nasai, “matruk” (ditinggalkan/tidak dipakai haditsnya).”!!
4. Ramadhan Tergantung Zakat Fithrah
“(Ibadah) bulan Ramadhan digantung-kan antara langit dan bumi dan tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan zakat fitrah.” (HR. Ibnu Syahin dalam Targhib-nya dan Dhiya‘ al-Maqdisi).
Hadits ini didha‘ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahaadits adh-Dha‘ifah jilid 1, hal. 117. no. Hadits: 43. Menurut para ulama, di dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya) dan matan-nya (isi haditsnya) juga bermasalah. Karena, ibadah Ramadhan dan zakat fithrah itu adalah ibadah yang nilainya sendiri-sendiri. Tidak seperti shalat dan wudhu yang saling terkait, yakni tidak sahnya shalat seseorang tanpa berwudhu.
Satu hal lagi, tidak ada para ulama fiqih yang menyatakan demikian, yakni menganggap batal puasa Ramadhan seseorang jika tidak berzakat fithrah.
Itulah beberapa hadits ‘bermasalah’ yang terkait dengan bulan Ramadhan dan cukup populer di tengah-tengah masyarakat kita.
Sumber
Semua ajaran Islam dan praktik iba-dah yang terkandung di dalamnya, ha-ruslah berasal dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah saw yang shahih. Adapun penyimpangan-pe-nyimpangan yang kini terjadi, biasa terjadi akibat salah dalam mengambil dasar hukum sebagai pijakan. Terse-barnya hadits-hadits palsu maupun le-mah, menjadi salah satu kontributor meluasnya praktik-praktik bid’ah. Tidak sedikit dari kaum muslimin yang ‘ter-tipu’ dengan hadits-hadits palsu mau-pun lemah dan beramal dengannya.
Berikut adalah beberapa hadits pal-su dan lemah yang cukup populer di kalangan kaum muslimin; serta menjadi dalil-dalil umum yang kaum muslimin berhujah dengannya:
1. Tidurnya adalah Ibadah
نَوْمُ الصَّائِمُ عِباَدَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعاَؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang puasa merupakan iba-dah, diamnya merupakan tasbih, amal-nya dilipatgandakan (pahalanya), doa-nya dikabulkan dan dosanya diampuni.” (HR. Baihaqi dan ad-Dailami dalam Kitab Syu’abul Iman)
Walaupun kandungan atau isi hadits tersebut terdapat hal-hal yang memang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw, yaitu tersebut dalam beberapa hadits shahih, seperti diampunkannya dosa-dosa serta dilipatgandakannya amalan-amalan baik, namun para ulama hadits sepakat bahwa hadits ini adalah hadits palsu.
Meski ada beberapa ulama, seperti as-Suyuti dan al-Albani yang mengatakan bahwa derajat hadits ini dhaif (lemah).
2. Awalnya adalah rahmat, …
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ الله ُصِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلَتِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ اْلخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ … وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai sunnat. Barangsiapa mendekatkan diri di dalam-nya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya… Dialah bulan yang awalnya itu rahmat, pertengahannya itu maghfirah/ampunan, dan akhirnya itu ‘itqun minan naar/be-bas dari neraka…(hingga akhir hadits)”
Hadits yang cukup panjang ini diriwayatkan oleh al-’Uqaili dalam kitab khusus tentang hadits dha’if yang berjudul adh-Dhu’afa’. Juga diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikhu Baghdad. Serta diriwayatkan juga oleh Ibnu Adiy, ad-Dailami, dan Ibnu Asakir.
Berikut adalah beberapa komentar para ulama hadits mengenai hadits ini: Ibnu Sa’ad berkata, “Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya.” Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tidak kuat.” Ibnu Ma’in berkata, “Dha’if.” Ibnu Abi Khaitsamah berkata, “Lemah di segala segi”, Ibnu Khuzaimah berkata, “Jangan berhujjah dengan hadits ini karena jelek hafalannya.”
Menurut Syaikh Muhammad Nashi-ruddin al-Albani, hadits ini nilainya munkar, yaitu hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi (periwayat hadits) yang hafalannya diragukan serta tergolong suka bermaksiat. Hadits munkar adalah termasuk hadits yang dikategorikan sangat lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Sumber kelemahan hadits ini adalah adanya dua orang rawi dalam sanadnya, masing-masing bernama Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al-Shalt. Menurut kritikus hadits Ibnu Adi, Sallam bin Sawwar adalah munkar al-hadits (orang yang riwayat haditsnya tertolak), Sedangkan Maslamah bin al-Shalt adalah matruk (yang berarti riwayat haditsnya ditolak). Baik munkar ataupun matruk, kedua-duanya tidak bisa dijadikan dalil dalam beramal.
3. Berharap Ramadhan selamanya
لَوْ يَعْلَمُ اْلعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتيِ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضاَنُ السَّنَةَ كُلَّهَا، إِنّ اْلجَنَّةَ لَتُزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ اْلحَوْلِ إِلىَ اْلحَوْلِ …
“Seandainya hamba-hamba tahu apa yang ada di bulan Ramadhan pasti ummatku akan berangan-angan agar Ramadhan itu jadi satu tahun seluruhnya, sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya….” hadits ini panjang.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Kitabul Maudhu’at (Kitab tentang Hadits-hadits palsu, 2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada al-Muthalibul Aaliyah (Bab A-B/ manuskrip) dari ja-lan Jabir bin Burdah, dari Abi Mas’ud Al-Ghifari.
Hadits ini maudhu’ (palsu), cacat-nya pada Jabir bin Ayyub, riwayat hi-dupnya dinukil Ibnu Hajar dalam Li-sanul Mizan (2/101) dan (beliau) berkata: “Terkenal dengan kelemahan (dha-’if)” beliau juga menukil ucapan Abu Nu’aim tentangnya: “Dia itu suka me-malsukan hadits.” Al-Bukhari juga ber-kata, “Haditsnya tertolak”, dan menurut an-Nasai, “matruk” (ditinggalkan/tidak dipakai haditsnya).”!!
4. Ramadhan Tergantung Zakat Fithrah
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ ، وَلاَ يُرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلاَّ بِزَكَاةِ اْلفِطْرِ ” .
“(Ibadah) bulan Ramadhan digantung-kan antara langit dan bumi dan tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan zakat fitrah.” (HR. Ibnu Syahin dalam Targhib-nya dan Dhiya‘ al-Maqdisi).
Hadits ini didha‘ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahaadits adh-Dha‘ifah jilid 1, hal. 117. no. Hadits: 43. Menurut para ulama, di dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya) dan matan-nya (isi haditsnya) juga bermasalah. Karena, ibadah Ramadhan dan zakat fithrah itu adalah ibadah yang nilainya sendiri-sendiri. Tidak seperti shalat dan wudhu yang saling terkait, yakni tidak sahnya shalat seseorang tanpa berwudhu.
Satu hal lagi, tidak ada para ulama fiqih yang menyatakan demikian, yakni menganggap batal puasa Ramadhan seseorang jika tidak berzakat fithrah.
Itulah beberapa hadits ‘bermasalah’ yang terkait dengan bulan Ramadhan dan cukup populer di tengah-tengah masyarakat kita.
Sumber
tapi itu kadang yang malah menyebar di masyarakat awam. mungkin tugas kita untuk memahamkan mereka. salam perjuangan ALLAHUAKBAR...
BalasHapusYa...Benar..Semoga Artikel ini dapat membantu memberikan mereka penerangan..Amin....
BalasHapus